ChanelMuslim.com – Mengadzankan bayi ketika lahir merupakan kebiasaan masyarakat muslim Indonesia. Tapi sebenarnya adakah anjuran atau contoh Rasulullah Shallahu Alaihi Wassalam mengenai perbuatan ini. Ustad Badrussalam Lc, Ulama Hadist tamatan Universitas Madinah berbagi informasi tentang hal tersebut dalam laman Cintasunnah.com.
Baca Juga: Rasulullah Menangis Saat Mendengar Bacaan Ibnu Masud
Adakah Anjuran Rasulullah Mengadzankan Bayi Ketika Lahir?
Ustad Badrusalam menuliskan bahwa ada 3 Hadist yang menjelaskan tentang amalan ini yaitu ”
Pertama : hadits Abu Rafi’ Maula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ia berkata : ”Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adzan ditelinga Al Hasan bin Ali seperti adzan untuk sholat ketika Fathimah radliyallahu ‘anha melahirkannya “.
Kedua : hadits Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu “Sesungguhnya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adzan di telinga kanan Al hasan bin Ali pada hari kelahirannya dan iqomat di telinga kirinya“
Ketiga , Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ”Barang siapa yang kelahiran bayi lalu ia adzan di telinga kanannya dan iqamat di telinga kirinya, tidak akan bermudharat padanya ibunya bayi“. Dari ketiga hadits di atas,hadits mengadzankan bayi ternyata adalah hadits yg dha’if dan tidak boleh dijadikan hujjah. Dan hadits-hadits tersebut tidak dapat saling menguatkan karena hadits kedua dan ketiga tidak dapat djadikan sebagai syahid karena sangat lemah bahkan palsu, dan yang seperti ini tidak dapat menguatkan sebagaimana disebutkan dalam ilmu musthalah hadits.
Jika memaparkan derajat hadits-haditsnya, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa mengadzankan bayi itu tidak boleh diamalkan karena haditsnya lemah. Ibnu Taimiyah berkata: ”sesungguhnya suatu amal apabila diketahui pensyari’atannya dengan dalil syar’i, lalu ada hadits mengenai keutamaan amal tersebut selama tidak palsu, bolehlah pahala tersebut menjadi benar, dan tidak ada seorang ulama pun yang berkata : sesungguhnya boleh menghukumi sesuatu itu wajib atau sunnah berdasarkan hadits dha’if. Barang siapa yang mengatakan dengan perkataan ini maka ia telah menyalahi ijma’ ulama“. (Majmu’ Fatawa 1/251).
(jwt)