Chanelmuslim.com– Khitbah (Meminang/Melamar) dan Pernak-Perniknya (2) (Bag. 2)
Apa saja hal-hal yang perlu diperhatikan saat melakukan khitbah (meminang atau melamar) dalam Islam? Ikuti penjelasan dari Ustadz Farid Nu’man berikut.
3) Hukumnya
Para ulama mengatakan:
Khitbah bukanlah syarat sahnya pernikahan, maka seandainya proses pernikahan sudah berjalan sempurna tanpa khitbah maka itu sah, hukumnya adalah MUBAH menurut jumhur (mayoritas) ulama.
Ada pun pendapat yang resmi dalam madzhab Syafi’iyah, bahwa khitbah itu sunah (mustahabbah), karena Nabi saw melakukannya ketika melamar ‘Aisyah binti Abu Bakar dan melamar Hafshah binti Umar Radhiallahu ‘Anhum. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 19/190)
Baca Juga: Khitbah dan Pernak-Perniknya (1)
Khitbah dan Pernak-Perniknya (2)
4) Sunah melakukan Nazhar (melihat wanita yang akan dinikahi)
Melihat wanita yang akan dinikahi adalah anjuran Nabi saw, kepada kaum laki-laki. Wanita pun punya hak yang sama untuk melihat laki-laki yang akan menikahinya. Dalam hal ini, wanita punya hak untuk menerima dan menolak lamaran, sebagaimana laki-laki punya hak untuk meneruskan atau tidak, lamarannya ke jenjang pernikahan.
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
Aku sedang di sisi Nabi saw, datanglah seorang laki-laki yang mengabarkan kepadanya bahwa dia hendak menikahi wanita Anshar. Maka, Nabi saw berkata kepadanya: “Apakah kamu sudah melihatnya?” Laki-laki itu menjawab: “Belum.” Beliau bersabda: “Pergilah lalu lihatlah dia, karena pada mata orang Anshar ada sesuatu.” (HR. Muslim No. 1424)
Maksud dari “pada mata orang Anshar ada sesuatu” adalah shighar (kecil/sipit) dan zurqah (bermata biru). (Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 9/210)
Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu berkata:
Bahwa Al Mughirah bin Syu’bah hendak menikahi seorang wanita. Maka berkata Nabi saw kepadanya: Pergilah dan lihatlah dia, karena hal itu bisa melanggengkan hubungan kalian berdua. (HR. Ibnu Majah No. 1865. At Tirmidzi No. 1087, dan lafaz ini milik Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam banyak kitabnya)
Tidak ada perselisihan pendapat tentang disyariatkannya laki-laki memandang wanita yang akan dinikahinya, dan mayoritas mengatakan sunah.
Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata:
Kami tidak ketahui adanya perbedaan pendapat di antara ulama tentang bolehnya melihat wanita bagi yang berkehendak menikahinya. (Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 6/552)
Para ulama mengatakan:
Tetapi para fuqaha –setelah mereka sepakat disyariatkannya pelamar kepada wanita yang hendak dilamar- mereka berbeda pendapat tentang hukum “melihat” ini. Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan sebagian Hanabilah mengatakan: disunahkan melihat, karena ada perintah dalam hadits shahih beserta adanya alasan melihatnya (“hal itu bisa membuat mereka berdua langgeng” yaitu langgeng kasih sayangnya).
Diriwayatkan dari Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata: “Aku melamar seornag wanita, lalu Nabi saw berkata kepadaku: “Apakah kamu sudah melihatnya?”
Aku menjawab: “Belum.”
Beliau bersabda: “Lihatlah kepadanya, karena hal itu bisa melanggengkan hubungan kalian berdua.”
Sedangkan madzhab Hanabilah, menyatakan itu adalah mubah saja, bagi yang hendak melamar wanita, dan menurut perkiraannya dia yakin bahwa lamarannya akan diterima, yaitu melihat apa yang umumnya biasa nampak. (Al Mausu’ah, 19/197)
Sebagian orang ada yang memakruhkan nazhar, itu keliru dan bertentangan dengan ijma’, berikut ini penjelasan Imam An Nawawi Rahimahullah:
Dalam hadits ini terdapat petunjuk bolehnya menyebutkan yang seperti ini dalam rangka nasihat. Dalam hadits ini menunjukkan sunahnya nazhar (melihat) kepada wajah bagi yang ingin menikahinya. Inilah madzhab kami (Syafi’iy), Malik, Abu Hanifah, dan semua penduduk Kufah, Ahmad, dan mayoritas ulama. Al Qadhi ‘Iyadh menceritakan adanya kaum yang memakruhkan itu. Ini keliru dan bertentangan dengan hadits ini yang begitu jelas, serta bertentangan dengan ijma’ umat atas kebolehan melihat saat jual beli, kesaksian, dan semisalnya. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 9/210)
Bersambung ….
(Masih poin NAZHAR)
Farid Nu’man Hasan