Oleh: Ustaz Farid Nu’man Hasan
ChanelMuslim.com – Ustaz, saya mau bertanya, tentang fatwa MUI saat ini tentang vaksin astrazeneca yang mengandung babi tetapi boleh dipakai. Beberapa hari lagi saya akan divaksin rencananya.
Jawaban: Masalah ini bukan masalah baru, dulu pernah ramai sewaktu MENINGITIS, masih “dianggap” mengandung babi dalam proses pembuatnya. Yang jadi pertanyaan adalah apakah unsur babi itu masih ada?
Ataukah hanya katalisator saja yang kemudian lenyap sama sekali, ataukah memang itu sebagai salah satu unsur dasar?
Baca Juga: Komisi Fatwa MUI: Vaksin di Bulan Ramadan tidak Membatalkan Puasa
Dalam fiqih, proses berubahnya zat dikenal dengan ISTIHALAH dan ISTIHLAK.
Istihalah, adalah perubahan suatu zat menjadi zat baru yang sama sekali berbeda.
Seperti khamr menjadi cuka. Dalam mazhab Hanafi, ini dibenarkan dan menjadi halal. Baik perubahan itu secara alami, atau dibantu oleh alat atau zat lain (buatan).
Fatwa MUI Menyebutkan Vaksinasi Dibolehkan dalam Kondisi Darurat
Imam Abu Ja’far Ath Thahawi mengatakan jika seekor bangkai jatuh di atas garam yang dijemur, lalu lama kelamaan bangkai itu lenyap dan menyatu dengan garam, maka garam tetap halal sebab bangkai itu berubah menjadi wujud baru yang sudah tidak lagi najis dan haram.
Adapun dalam mazhab Syafi’i, Istihalah hanya boleh jika secara alami.
Istihlak, yaitu perubahan wujud dengan cara mencampurkan zat haram dan najis, dengan zat halal dan suci dalam jumlah yang sangat banyak.
Sehingga keberadaan yang haram dan najis itu pun lenyap atau sangat sedikit sehingga bisa diabaikan karena sudah tidak ada warna, rasa, dan baunya. Ini pun halal.
Inilah yang mendasari sebagian ulama Kontemporer membolehkan obat cair yang mengandung alkohol sangat sedikit, 0,5-1% misalnya, sebab kadar seperti itu tidak berpengaruh apa-apa dan bisa diabaikan.
Nah, kasus vaksin di atas juga demikian. Prosesnya seperti apa. Sebaiknya tunggu saja penjelasan berikutnya dari MUI, kita jangan terburu-buru.
Wallahu a’lam.
Sebelumnya, Vaksin AstraZeneca dinyatakan haram karena mengandung tripsin babi. Namun demikian, Majelis Ulama Indonesia (MUI) membolehkan penggunaannya dengan alasan darurat. MUI juga mendorong pemerintah untuk menyediakan vaksin halal dan suci.
Dalam konferensi pers, Ketua MUI Bidang Fatwa Dr. H. M. Asrorun Ni’am Sholeh, M.A. menyatakan, sebagai tanggung jawab keagamaan, MUI melakukan pengkajian secara intensif.
Mulai dari pemeriksaan dokumen terkait ingredient, proses produksi dan ditindaklanjuti rapat dengan pemerintah terkait urgensi vaksinasi, keterangan dari BPOM, jaminan keamanan vaksin dari produsen, dan PT Biofarma yang bertanggung jawab dengan pengadaan distribusi vaksin.[ind]