SETIAP tahun, jutaan jamaah haji dari seluruh pelosok dunia datang berbondong-bondong menuju dua kota suci, demi menunaikan rukun Islam kelima.
Kaum muslimin dari berbagai suku dan bangsa berbaur menjadi satu, berpadu dalam ibadah yang sama. Sudah pasti, hati mereka penuh harap agar ibadah ini yang hanya diwajibkan sekali seumur hidup dapat diterima sebagai haji mabrur.
Apalagi, ganjaran sebuah haji yang mabrur adalah balasan terbaik. Mari kita hayati sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Dan tiada balasan bagi haji yang mabrur selain surga.” [HR. Bukhari
dan Muslim].
Dan surga adalah idaman semua insan di dunia. Akan tetapi, tidak semua jamaah memperoleh haji mabrur. Pada saat musim haji dan menyaksikan ribuan manusia melaksanakan manasik, Mujahid rahimahullah bergumam, “Alangkah banyaknya jumlah jamaah haji.”
Mendengar ungkapan ini, Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma langsung berkata, “Mereka sungguh sedikit, tetapi katakanlah; ‘Alangkah ramainya kumpulan manusia ini’.” [Mushannaf Abdur Razzaq].
Lantas, Apakah Hakikat Haji Mabrur? “Mabruur” berasal dari kata al-birr. Dalam bahasa Arab kata ini
mempunyai dua makna utama, yaitu: Pertama, berbuat baik kepada manusia dan tidak menyakitinya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Al-birr adalah akhlak mulia.” [HR. Muslim].
Jabir radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan: “Mereka [sahabat] bertanya, “Apakah al-birr dalam haji wahai Rasulullah?”, beliau menjawab, “Memberi makan dan menebarkan salam.” [HR. Hakim].
Kedua, Memperbanyak aneka ragam ketaatan dan ketakwaan, lawan katanya adalah dosa. Dalam menjelaskan haji mabrur, ulama telah mengemukakan beberapa definisi.
Intinya sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Qurthubi, bahwa haji mabrur adalah: “Haji yang terpenuhi seluruh hukumnya, dan dilaksanakan secara sempurna.”
Bagaimana Cara Kita Memperoleh Haji Mabrur? Karena kita semua berharap mendapat haji mabrur, namun tidak semua orang dapat memperolehnya, maka kita perlu mengkaji beberapa perkara yang membantu kita meraih haji yang mabrur:
1. Ikhlas
Artinya melaksanakan semua manasik haji hanya karena mengharap ridha Allah Subhanahu wata’ala. Hati harus dibersihkan dari ambisi dan kepentingan duniawi yang fana, seperti mengharap pujian dan penghormatan. Dalam hadits Qudsi, Allah Azza wajalla berfirman yang artinya:
“Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barang siapa melakukan suatu amal dengan dicampuri perbuatan syirik kepadaKu, niscaya Aku akan tinggalkan dia bersama sekutunya.” [HR. Muslim].
2. Mutaba’ah/mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
Ibadah haji dan selainnya, tidak akan diterima kecuali bila telah memenuhi dua syarat ini; yaitu niat yang ikhlas dan mengikuti sunnah/tuntunan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Ambillah manasik haji dariku, sebab aku tidak tahu, barangkali aku tidak berhaji lagi sesudah hajiku ini.” [HR. Muslim]. Jadi, meskipun sebuah ibadah dilaksanakan secara ikhlas, namun tidak sesuai sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka ibadah itu pasti tertolak.
Sebaliknya, meskipun ibadah tersebut telah sesuai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun niatnya tidak ikhlas, maka ia juga tidak diterima. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barang siapa yang melakukan suatu amalan [dalam agama ini] yang tidak ada contohnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” [HR. Bukhari dan Muslim].
3. Persiapan yang maksimal
Dengan persiapan optimal dan semaksimal mungkin, seorang hamba dapat menjalankan rangkaian manasik haji dengan sempurna. Ada beberapa hal penting untuk dipersiapkan agar haji menjadi mabrur. Diantaranya:
a. Hendaklah seorang hamba memperbaiki hubungan dengan Tuhannya, dengan bertaubat nasuha [taubat yang sungguh-sungguh].
b. Memohon pertolongan Allah Ta’ala dan bertawakal penuh kepadaNya, Karena seorang yang berhaji tidak hanya mengandalkan kekuatan jasmani dan materi semata.
c. Melepaskan semua tanggung jawab kepada orang lain, seperti utang-piutang atau barang titipan.
d. Menulis wasiat untuk keluarga yang ditinggalkannya.
e. Mempersiapkan bekal yang cukup, baik untuk dirinya, maupun untuk keluarga yang ditinggalkan. Atau menyerahkan urusan keluarga kepada kerabat yang tepercaya, agar saat menunaikan ibadah haji hatinya tenang dan hanya tertuju kepada Allah Ta’ala.
f. Hendaklah biaya haji berasal dari harta halal. Sebab, harta yang haram akan menghalangi diterimanya sebuah ibadah.
g. Memilih teman yang baik dan saleh, serta menghindari teman yang buruk atau malas beribadah.
h. Mempelajari manasik haji dan hukum-hukum yang berhubungan dengan safar, seperti shalat jamak dan qashar, serta tayamum. Tentunya hal ini dapat dibantu dengan panduan ustadz pembimbing atau buku panduan haji.
Agar Kita Mendapatkan Haji Mabrur
Baca juga: Simulasi Manasik Haji di Islamic Book Fair 2023
4. Menghayati hakikat dan tujuan ibadah haji.
Perjalanan ibadah haji bukanlah rekreasi, bukan pula bisnis, melainkan perjalanan ibadah yang sarat dengan hikmah dan tujuan mulia. Di antara tujuan dan hikmah penting tersebut adalah:
a. Menegakkan tauhid.
Jika rangkaian manasik haji diamati secara seksama, maka kita akan temukan bahwa menauhidkan [mengesakan] Allah adalah tujuan utama.
Dalam talbiyah kita menauhidkan Allah. Ketika menaiki bukit Shafa dan Marwah kita juga melantunkan kalimat tauhid, begitu pula saat wukuf di padang Arafah. Bahkan menauhidkan Allah dalam ibadah dan doa adalah amalan paling utama selama haji.
Maka, hendaklah seorang yang berhaji menghayati makna ini dalam setiap manasiknya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. Tiada sekutu baginya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri [kepada Allah].” [QS. Al-An’am:
162-163].
b. Mendidik hamba agar patuh dan tunduk kepada Allah Azza wajalla.
Dalam rangkaian manasik haji, ada beberapa rahasia dan hikmah yang sulit kita cerna. Sebab tujuan utama dari ibadah ini adalah tunduk dan patuh kepada syariat Allah.
Sebagai contoh; melempar jumrah dan mencium Hajar Aswad. Karenanya, ketika hendak mencium Hajar Aswad, Khalifah Umar bin Khattab berkata yang artinya:
“Aku tahu bahwa engkau hanya sebongkah batu, yang tidak mendatangkan manfaat maupun menolak bahaya, jika bukan karena aku telah melihat Rasulullah menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.” [HR. Bukhari].
Umar radhiyallahu ‘anhu sangat memahami bahwa tujuan utama mencium Hajar Aswad adalah tunduk kepada syariat Allah dan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
c. Memperbanyak zikir/mengingat Allah.
Jamaah haji diperintahkan berzikir pada setiap sesi manasik, juga setelah selesai menunaikan ibadah haji. Allah Ta’ala berfirman yang artinya: “Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafat, berzikirlah kepada Allah di Masy’aril Haram. Dan berzikirlah [dengan menyebut] Allah sebagaimana yang ditunjukkanNya kepadamu.” [QS. Al-Baqarah: 198].
Juga firman Allah yang artinya: “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah [dengan menyebut] Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut [membangga-banggakan] nenek moyangmu, atau [bahkan] berzikirlah lebih banyak dari itu.” [QS. Al-Baqarah: 200].
Alangkah meruginya seorang haji yang telah jauh-jauh meninggalkan kampung halamannya, kemudian tidak mengisi waktunya dengan ibadah dan dzikrullah.
d. Mencapai derajat takwa.
Perintah bertakwa banyak kita temukan di sela-sela penjelasan tentang manasik haji, seperti firman Allah yang artinya:“Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaNya.” [QS. Al-Baqarah: 196].
Allah juga berfirman yang artinya: “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepadaKu wahai orang-orang yang berakal.” [QS. Al-Baqarah: 197].
e. Memperdalam cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Semua rangkaian ibadah haji telah dicontohkan secara langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Maka, bukti cinta kita kepada beliau adalah dengan menunaikan ibadah mulia ini sesuai tuntunannya. Dan dengan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah akan mencintai kita. Allah berfirman yang artinya:
“Katakanlah jika kamu [benar-benar] mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. Ali Imran: 31].
5. Berusaha keras menghindari maksiat dan pelanggaran.
Sebab, haji mabrur adalah: “Haji yang terpenuhi seluruh hukumnya, dan dilaksanakan secara sempurna.” Melakukan dosa dan melanggar larangan haji dengan sengaja akan menjauhkan seseorang dari nominasi haji mabrur.
Selama menunaikan haji, kita acap kali melihat kesalahan-kesalahan yang dianggap remeh oleh sebagian orang. Seperti melalaikan shalat, sengaja melanggar larangan ihram, menyakiti orang lain, berbantah-bantahan, membuka aurat, sibuk melakukan amalan yang tidak dianjurkan oleh syariat, dan sebagainya.
6. Bersungguh-sungguh dalam ibadah dan ketaatan.
Biasanya jamaah haji Indonesia mempunyai waktu 40 hari untuk menunaikan manasik haji, umrah, dan ziarah. Idealnya selama waktu ini jamaah benar-benar terlepas dari aktivitas duniawi, hanya terfokus
pada masalah ibadah.
Maka, sudah selayaknya waktu yang sangat terbatas ini benar-benar dimanfaatkan semaksimal mungkin. Apalagi, situasi dan kondisi haji benar-benar menjadi momen perubahan yang sangat langka.
Selain manasik haji dan umrah, masih banyak amal ibadah lain yang bisa dilakukan secara berkesinambungan, seperti membaca al-Qur’an, zikir, istigfar, shalat-shalat sunah, bersedekah, berdakwah, dan berdoa.
Belum lagi amalan hati seperti ikhlas, taubat, tawakal, sabar, ridlha, pengagungan terhadap Allah dan syariatNya, dan lain-lain.
7. Istiqamah
Tanda yang paling jelas dari haji mabrur adalah jika seorang jamaah haji berubah menjadi lebih baik dan saleh di musim haji dan setelah kembali ke negeri asalnya.
Ia tidak hanya mampu mempertahankan amal ibadah dan kebajikan yang selama ini telah dilakukan, melainkan berhasil meningkatkannya sembari menjauhi segala bentuk maksiat, kemudian istiqamah di dalamnya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman yang artinya:
“Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka, dan memberikan kepada mereka [balasan] ketakwaannya.” [QS. Muhammad: 17].
Kita sering menyaksikan seseorang membangun benteng ketaatan yang cukup kokoh di musim haji, namun setelah kembali ia merobohkan benteng tersebut dengan tangannya sendiri.
Bukankah mereka yang meraih haji mabrur akan kembali seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya? Tetapi, apakah kita akan kembali mengisi jiwa putih bersih tersebut dengan noda-noda hitam? Haji adalah momen terindah untuk membuka lembaran baru kehidupan, isinya adalah ketaatan, dan temanya adalah istiqamah.
Semoga Allah menerima semua amal ibadah kita, menganugerahi kita haji yang mabrur, serta memberi kita taufik [kemudahan] agar tetap istiqamah dalam taat dan takwa, sampai kelak ajal menjemput kita. Aamiin.