SEORANG musafir yang melakukan perjalanan keluar kota atau telah mencapai jarak safar maka boleh tidak berpuasa. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam surah Al-Baqarah ayat 184:
…أَيَّامًا مَّعْدُودَٰتٍ ۚ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya: (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain…
Safar yang dimaksud pada ayat di atas tidak terbatas pada saat sedang berada dalam perjalanan atau di atas kendaraan tapi juga termasuk ketika sudah sampai di tempat tujuan, sebagaimana hadis berikut ini:
Sahabat Anas menceritakan, “Kami pernah keluar (safar) bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam dari Madinah ke Mekkah, dan adalah beliau shalat dua rakaat – dua rakaat hingga kami kembali ke Madinah.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Baca Juga: Al-Baqarah Ayat 282, Perintah untuk Mencatat Hutang
Al-Baqarah Ayat 184, Musafir Boleh Tidak Berpuasa
Yang dimaksud dua rakaat pada hadis di atas adalah menqashar rakaat shalat yang empat rakaat. Dari hadis ini bisa dipahami bahwa Nabi melakukan qashar shalat saat berada di tujuan.
Artinya musafir bukan hanya seorang yang sedang berada diperjalanan namun juga yang telah berada di tempat tujuan.
Orang yang sakit maupun yang dalam kondisi musafir boleh tidak berpuasa sebagai rukhsoh (kelonggaran) dari Allah subhanahu wa ta’ala, sedangkan Allah sangat menyukai hamba-Nya yang menggunakan rukhsoh tersebut.
Namun, jika ia mau tetap berpuasa juga diperbolehkan dengan syarat ia sanggup menjalaninya. Sebuah hadis mengatakan:
“Dari Hamzah bin ‘Amr al-Aslami bahwasanya ia berkata: “Ya Rasulullah, saya mendapati kemampuan pada diri saya untuk berpuasa (dalam safar), apa saya berdosa (jika berpuasa)? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabdah:
‘Ia (berbuka) adalah satu kelonggaran dari Allah, barangsiapa mengambilnya (mengerjakannya) maka itu baik, dan barangsiapa tetap suka berpuasa, maka tidak ada dosa atasnya.” (HR. Muslim)
Dari hadis di atas bisa dipahami bahwa tidak berpuasa saat musafir adalah suatu kebaikan namun jika tetap berpuasa tidak berdosa.
Akan tetapi bagi musafir yang memaksakan diri untuk tetap berpuasa padahal ia berada pada kondisi yang sudah tidak sanggup untuk berpuasa maka ia dikategorikan sebagai orang yang durhaka, sebagaimana riwayat dari Jabir bin Abdillah:
“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada tahun kemenangan menuju Mekkah di bulan Ramadan, maka ia dan orang-orang berpuasa hingga sampai di Kura’ul Ghamim, kemudian ia minta sekendi air, lalu ia angkat dia ke atas hingga orang-orang melihatnya, lalu ia minum.
Lalu dikatakan kepadanya sesudah itu bahwasanya sebagian orang tetap berpuasa, maka sabdahnya: mereka itu durhaka, mereka itu durhaka.” (HR. Muslim)
Dari hadis ini bisa dipahami bahwa ketika seseorang sudah tidak sanggup berpuasa dalam kondisi safar maka tidak boleh memaksakan diri tetap berpuasa.
Akhir kata, bagi para musafir yang memutuskan tidak berpuasa, maka wajib mengganti puasanya di hari lain selain bulan Ramadan sebagaimana orang yang sakit. [Ln]