USTAZ, bagaimana hukum mertua bernazar saya tidak boleh potong rambut sebelum umroh. Ketika saya hamil anak pertama dengan usia kandungan 8 bulan, mertua saya pernah bernazar bahwa jika bayi kami lahir selamat dan sehat, beliau menazarkan bahwa saya tidak boleh memotong rambut.
Rambut saya hanya akan dipotong di Mekkah pada saat melaksanakan ibadah umroh. Jika saya belum umroh, rambut saya tidak boleh dipotong.
Sampai saat ini, bahkan saya sudah memiliki anak kedua berumur 3 tahun (anak pertama berusia 5 tahun), saya masih belum bisa berangkat umroh karena kesulitan keuangan.
Terus terang sangat menderita dengan rambut panjang saya yang sekarang. Saya sangat ingin memotongnya, tapi saya takut dan teringat dengan nazar mertua.
Saya takut jika nazar itu saya langgar, sesuatu yang buruk akan menimpa anak pertama saya.
Kondisi rambut saya saat ini sangat rontok (bisa dikatakan hanya tinggal beberapa helai saja untuk ukuran rambut manusia sehat), sangat berketombe, dan sangat tidak sehat. Apa yang harus saya lakukan?
Baca Juga: Ibu Mertua Bernazar agar Aku Bercerai dengan Suamiku
Mertua Bernazar Saya Tidak Boleh Potong Rambut sebelum Umroh
Ustaz Farid Nu’man Hasan menjelaskan sebagai berikut.
Salah satu jenis nazar adalah nazar muqayyad, yaitu nazar yang diawali hajat tertentu yang jika hajatnya terpenuhi maka dia baru melakukannya.
Jenis ini makruh, dan inilah yang paling sering manusia lakukan, tapi jika sudah telanjur terucap dan hajatnya terpenuhi maka dia wajib melaksanakan.
Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhu berkata:
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنِ النَّذْرِ، وَقَالَ: «إِنَّهُ لَا يَأْتِي بِخَيْرٍ، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ»
Dari Nabi Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa Beliau melarang bernazar, Beliau bersabda: “Nazar itu tidaklah mendatangkan kebaikan, itu hanyalah dikeluarkan dari orang yang bakhil.”
(HR. Muslim No. 1639)
Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi mengatakan:
و يكره النذز المقيد كأن يقول : ان شفا الله مريضى صمت كذا او تصدقت بكذا
Dimakruhkan nazar muqayyad, seperti ucapan: “Jika Allah sembuhkan penyakitku aku akan puasa sekian, atau aku akan sedekah sekian. (Minhajul Muslim, Hlm. 394)
Untuk kasus yang ditanyakan, ini adalah nazar yang aneh dan tidak benar. Seharusnya Bapak Mertua tersebut nazar dengan amal dirinya, bukan membebani orang lain.
Dia yang nazar tapi malah menantunya yang jadi objek nazarnya.
Seharusnya yang dia katakan adalah jika lahir cucu saya dengan selamat dan sehat, maka saya tidak akan atau saya akan.. Bla bla…, jadi beban ke dirinya, bukan ke orang lain. Ini tidak boleh.
Mirip seperti orang yang berkata, “Saya tidak bohong, kalau tidak percaya, potong kuping anak itu.”
Jadi, bapak mertua tersebut mesti membatalkan nazarnya karena menyulitkan dan mengorbankan orang lain.
Dia membatalkan nazarnya dengan melakukan Kafarat Nazar sebagaimana kafarat sumpah, sebagaimana hadits:
كَفَّارَةُ النَّذْرِ كَفَّارَةُ الْيَمِينِ
Kafarat nadzar itu sama dengan kafarat sumpah. (HR. Muslim No. 1645)
Bagaimana caranya?
– Dengan memberikan makan kepada 10 fakir miskin masing-masing sebanyak satu mud gandum (atau disesuaikan dengan makanan dan takaran masing-masing negeri),
atau mengundang mereka semua dalam jamuan makan malam atau siang sampai mereka puas dan kenyang, dengan makanan yang biasa kita makan.
– Atau memberikan pakaian yang sah untuk shalat, jika fakir miskin itu wanita, maka mesti dengan kerudungnya juga.
-Atau memerdekakan seorang budak
– Jika semua tidak sanggup, maka shaum selama tiga hari, boleh berturut-turut atau tidak.
Ketetapan ini sesuai firman Allah Taala sebagai berikut:
Maka kafarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.
Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari.
Yang demikian itu adalah kafarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (Al-Maidah: 89)
Kafarat ini bukan hanya bagi orang yang tidak sanggup menjalankan nazarnya, tetapi juga bagi orang yang masih bingung menentukan nazarnya mau ngapain lalu dia putuskan membatalkannya, juga bagi yang nazar dengan maksiat.
Hal ini sebagaimana hadits berikut dari Ibnu Abbas secara marfu’:
مَنْ نَذَرَ نَذْرًا لَمْ يُسَمِّهِ، فَكَفَّارَتُهُ كَفَّارَةُ يَمِينٍ، وَمَنْ نَذَرَ نَذْرًا فِي مَعْصِيَةٍ، فَكَفَّارَتُهُ كَفَّارَةُ يَمِينٍ، وَمَنْ نَذَرَ نَذْرًا لَا يُطِيقُهُ فَكَفَّارَتُهُ كَفَّارَةُ يَمِينٍ، وَمَنْ نَذَرَ نَذْرًا أَطَاقَهُ فَلْيَفِ بِهِ
Barang siapa yang bernazar dan dia belum tentukan, maka kafaratnya sama dengan kafarat sumpah. Barang siapa yang bernazar dalam hal maksiat, maka kafaratnya sama dengan kafarat sumpah, dan barang siapa yang nazar dengan hal yang dia tidak sanggup maka kafaratnya sama dengan kafarat sumpah, dan siapa yang nazarnya dengan sesuatu yang dia mampu, maka hendaknya dia penuhi nazarnya.
(HR. Abu Daud No. 3322. Sementara Imam Ibnu Hajar mengatakan dalam Bulughul Maram: “Isnadnya shahih, hanya saja para huffazh lebih menguatkan bahwa ini hanyalah mauquf.”
Mauquf maksudnya terhenti sebagai ucapan sahabat nabi saja, yakni Ibnu Abbas, bukan marfu’/ucapan nabi. )
Demikian. Wallahu a’lam. Semoga penjelasan Ustaz ini menjawab permasalahan kamu.[ind]