Oleh: Ustaz Farid Nu’man Hasan
ChanelMuslim.com–Afwan Ustaz, saya nanya soal larangan memperingati Hari Ibu menurut Ustaz lain karena tasabbuh. Saya kerja di BUMN, tadi pagi disuruh upacara memperingati Hari Ibu, karena tasabbuh berarti semua karyawan termasuk saya yang muslim berdosa. Saya jadi bingung. Menurut hemat Ustaz bagaimana ya hukumnya? Maksud tasabbuh yaitu mengikuti kebiasaan yang buruk yang bertentangan dengan syariat, seperti aqidah, ritual ibadah, kebiasaan yang menentang syariat. Syukron, F di Bogor.
Jawaban:
Bismillah wal Hamdulillah ..
Hari Ibu .., jika itu disebut dan dianggap perayaan (yaumul ‘iid) keagamaan, memang itu terlarang. Itu sama juga memasukkan ke dalam Islam, apa-apa yang bukan dari Islam. Inilah tasyabbuh bil kuffar.
Hari raya kaum muslimin, sebagaimana tertera dalam hadits-hadits shahih adalah:
– Idul Fithri (1 Syawwal)
– Idul Adha (10 Zulhijjah)
– Hari Arafah
– Hari Tasyriq (11, 12, 13 Zulhijjah)
– Hari Jumat
Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ النَّحْرِ وَأَيَّامُ التَّشْرِيقِ عِيدُنَا أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَهِيَ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
Hari Arafah, hari penyembelihan (10 Zulhijjah), dan hari-hari tasyriq, semua adalah hari raya kita pemeluk Islam, itu hari makan dan minum. (HR. Abu Daud no. 2419, Shahih)
Bahkan untuk hari Jumat, a’zham ‘indallah minal fithri wal adhha-lebih agung di sisi Allah dibanding Idul Fithri dan Idul Adha ..
Tapi .., jika Hari Ibu tidak pernah dianggap sebagai hari raya, hanya sebagai pengambilan momen khusus untuk menapaktilasi perjuangan seorang ibu, kebaikannya, jasanya, dll., maka, ini tidak beda dengan hari-hari besar nasional, bukan hari raya keagamaan. Seperti hari pahlawan, hari kebangkitan nasional, hari guru, hari santri, hari anti korupsi.
Ada pula waktu “matikan TV” dicanangkan pemerintah, dari jam 18 s.d. 21, agar siswa dapat belajar. Padahal belajar itu di sepanjang waktu.
Di kampus-kampus yang mempelajari bahasa asing, biasanya kebijakan jurusan ada mencanangkan hari tertentu untuk khusus berbicara dengan bahasa asing tersebut, mahasiswa wajib menggunakan bahasa itu, tapi tidak wajib pada hari lainnya. Ini pemanfaatan momen saja.
Benar bahwa mencintai ibu mesti tidak hanya di hari ibu, sebagaimana anti korupsi pun tidak pada hari anti korupsi saja tapi sepanjang waktu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memilih hari khusus untuk mengajar para sahabatnya, tidak pada hari lainnya, padahal belajar mengajar tidak hanya pada hari khusus itu, tapi sepanjang waktu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam rutin tiap hari Sabtu untuk mengunjungi masjid Quba, baik dengan jalan atau berkendaraan. Ibnu Umar mengikuti tradisi ini. Ini riwayat Imam Bukhari. Padahal berjalan ke masjid bukan hanya di hari Sabtu.
Sejarah Hari Ibu di Indonesia
Ditambah lagi, sejarah adanya Hari Ibu di Indonesia tidaklah sama dengan hari ibu di barat yang berbau paganis (kemusyrikan). Sehingga, sebutan tasyabbuh bil kuffar (menyerupai orang kafir) sangat tidak tepat.
Hari Ibu di negara ini berawal dari pembukaan Kongres Perempuan Indonesia yang pertama, yang digelar dari 22 hingga 25 Desember 1928. Kongres Perempuan Indonesia ini bahkan diikuti oleh organisasi wanita Muhammadiyah, Aisyiyah. Kemudian Presiden Soekarno menerbitkan Dekrit Presiden No. 316 tahun 1953 untuk meresmikan Hari Ibu sebagai hari nasional. Tanggal tersebut dipilih untuk merayakan semangat wanita Indonesia dan untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara. Tidak ada budaya dan ritual kekufuran di sana. Sehingga sama sekali tidak ada hubungan dengan hari Ibu a la barat yang memang berawal dari budaya pagan. Seandainya ini menyerupai orang kafir dan sebagai simbol kekafiran, maka tentu ulama Indonesia, juga MUI, tidak akan tinggal diam sebagaimana sikap tegas mereka terhadap atribut Natal dan Natal bersama yang melibatkan umat Islam.
Jadi, hari besar nasional bukanlah hari raya keagamaan, tidak pula sama dengan valentine, thanksgiving, hallowen, aprilmop, sebab di negara barat pun hari-hari tersebut bukan hari nasional. Di negeri kita pun tidak pernah dianggap hari raya Islam.
Pendapat Para Ulama
▶ Syaikh Dr. Muhammad Ismail Bakr (ulama Al Azhar) berkata:
” إنّ عيد الأم هو من بدع العادات لا من بدع العبادات، وبدع العادات لا يأمر بها الإسلام ولا ينهى عنها إلا إذا كانت تتصل بالدين من قريب أو من بعيد، فإذا كانت هذه العادات تُعبّر عن الوفاء والاعتراف بالجميل وتدعو إلى البر والإحسان إلى من يستحق البر والإحسان كالأم والأب ومن في حكمهما كالجدة والجد، فإن الإسلام يبارك هذه العادات ويقرها، أما إذا كانت هذه العادات تعبر عن الضد من ذلك أو يترتب على فعلها ما يعيبه الإسلام ونهى عنه كالإسراف والتبذير والعبث واللهو واللعب والتفاخر، فإن الإسلام ينهى عنه , ويُحذر منه، وقد كان للعرب عادات بعضها أقرها الإسلام على ما هو عليه وبعضها نهى عنها وحذر منها، وبعضها أقره مع التعديل “.
Sesungguhnya peringatan hari ibu adalah bid’ah dalam perkara adat (kebiasaan), bukan bid’ah dalam agama. Bid’ah dalam perkara adat, tidaklah diperintahkan Islam dan tidak pula dilarangnya, kecuali yang terkait langsung dengan urusan agama baik dekat atau jauh.
Jika kebiasaan ini memunculkan kesetiaan dan pengakuan terhadap keindahan dan menyeru pada kebaikan, seperti berbuat baik kepada pihak yang berhak menerimanya seperti ibu, ayah, kakek, nenek, maka Islam memberkahi adat ini dan mengakuinya. Ada pun jika kebiasaan ini berlawanan dengan itu atau aktivitasnya mengandung hal yang terlarang dalam Islam seperti berlebihan, pemborosan, kesia-siaan, permainan melalaikan, maka Islam melarangnya dan memperingatkan umat dari bahayanya. Bangsa Arab memiliki kebiasaan yang sebagiannya diakui Islam, sebagian lain dilarang, dan sebagian lain diakui dgn pujian yg objektif. (Selesai)
▶ Ulama yang lain,
Syaikh Dr. Abdul Fatah ‘Aasyuur berkata:
الاحتفال بأيام فيها تكريم للناس، أو إحياء ذكرى طيبة لم يقل أحد بأن هذا احتفال ديني، أو عيد من أعياد المسلمين، ولكنه فرصة لإبداء المشاعر الطيبة نحو من أسدوا لنا معروفاً، ومن ذلك ما يعرف بالاحتفال بيوم الأم، أو بعيد الأم، فإن الأم لها منزلة خاصة في دين الله، بل في كل دين، ولذلك يجب أن تكرم وأن تحترم وأن يحتفل بها، فلو اخترنا يوماً من أيام السنة يظهر الأبناء مشاعرهم الطيبة نحو أمهاتم وآبائهم لما كان في ذلك مانع شرعي، وليس في هذا تقليد للغرب أو للشرق، فنحن نحتفل بهذا اليوم بما لا يخالف شرع الله، بل بالعكس نحن ننفذ ما أمر الله به من بر الوالدين والأم على وجه الخصوص، فليس في هذا مشابهة ولا تقليد لأحد ” .
Peringatan terhadap hari-hari yang di dalamnya terdapat pemuliaan terhadap manusia, atau menghidupkan peringatan kebaikan, tidak seorangpun yang mengatakan bahwa ini adalah peringatan keagamaan, atau hari raya di antara hari raya kaum muslimin. Tapi ini merupakan momen untuk menampakkan ekspresi kebaikan kepada orang yang mendidik kita secara baik, di antaranya adalah apa yang dikenal dengan Hari Ibu atau peringatan Hari Ibu. Karena ibu memiliki posisi khusus dalam agama Allah, bahkan semua agama, oleh karena itu wajib menghormati, memuliakan, dan memperingati hal itu, walau pun kita memilih satu hari di antara hari-hari dalam setahun, di mana anak-anak menampakkan ekspresi kebaikan kepada ibu dan ayah mereka, maka ini tidak terlarang secara Syar’iy.
Dan ini bukanlah ikut-ikutan kepada Barat dan Timur, sebab kita mengadakannya bukan dengan apa-apa yang menyelisihi syariat Allah, tetapi sebaliknya, kita menjalankan syariat Allah dengan berbakti kepada kedua orangtua dan ibu secara khusus, dan dalam hal ini tidaklah termasuk dalam penyerupaan dan ikut-ikutan kepada siapa pun. (Selesai)
▶ Al Majlis Al Islamiy Lil Ifta’, yang berpusat di Baitul Maqdis dalam website resminya merilis fatwa tentang peringatan Hari Ibu:
ولكن لا مانع من تخصيص يوم عالميّ نعبّر فيه عن حبّ الأم ومكانتها على ألاّ يعتبر هذا اليوم عيداً من أعياد المسلمين بالمعنى الشّرعي لأنه لم يشرع لنا إلا عيدان: عيد الفطر وعيد الأضحى، وأن لا يتخلل هذا اليوم بدعاً ومحدثات وأمور محرمة .
Tetapi tidak ada larangan mengkhususkan hari internasional yang mana saat itu kita memunculkan cinta kepada ibu dan memuliakan kedudukannya. Ini bukanlah hari raya di antara hari raya kaum muslimin dengan makna secara syar’iy, karena tidaklah disyariatkan kepada kita kecuali dua hari raya: Idul Fitri dan Idul Adha. Selama di dalam peringatan hari ini tidak dikotori oleh bid’ah dan perkara-perkara yang diharamkan. (Selesai)
Kemudian dalam fatwa tersebut juga tertulis:
وبناءً على ما سبق لا مانع من الاحتفاء بيوم الأم أو ما يسمّى بعيد الأم بشروط:
1- ألا يعتبر عيداً.
2- ألا يُراد منه التشبه بالكافرين الذين يقصرون تكريم الأم على هذا اليوم.
3- لا بد من التحذير من المخالفات الشرعية كالموسيقى والاختلاط في الحفلات التي تقيمها المدارس والروضات ونحوها .
Berdasarkan keterangan yang lalu maka tidak terlarang peringatan Hari Ibu atau apa yang disebut hari raya ibu dengan syarat-syarat:
1. Tidak dianggap sebagai hari raya (keagamaan)
2. Tidak memaksudkannya dengan hal yang menyerupai orang kafir yang justru mengurangi pemuliaan kepada ibu di hari itu
3. Harus diperingatkan dari hal-hal yang menyelisihi syariat seperti musik-musik, campur baur (laki perempuan), pada peringatan yang terjadi di sekolah-sekolah, taman pendidikan, dan semisalnya. (Selesai)
Hendaknya lisan manusia menahan diri bermudah-mudah berkata halal haram atas syariat …, sampai jelas betul perkaranya. Sebab Al Hukmu far’un min tashawurihi, hukum itu adalah cabang dari sebuah persepsi/gambarannya. Hukum itu cabang, persepsi itu pokoknya. Jika persepsinya salah, maka salah pula vonis hukumnya ..
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَٰذَا حَلَالٌ وَهَٰذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لَا يُفْلِحُونَ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (Qs. An Nahl: 116)
Imam Muhammad bin Abdil Wahhab At Tamimi Rahimahullah menjelaskan:
أن كل شيء سكت عنه الشارع فهو عفو لا يحل لأحد أن يحرمه أو يوجبه أو يستحبه أو يكرهه
Sesungguhnya segala sesuatu yang didiamkan oleh Syari’ (pembuat Syariat) maka hal itu dimaafkan, dan tidak boleh bagi seorang pun untuk mengharamkan, atau mewajibkan, atau menyunnahkan, atau memakruhkan.
(Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab At Tamimi, Arba’u Qawaid Taduru al Ahkam ‘Alaiha, Hlm. 3. Maktabah Al Misykah)
Wallahu a’lam.
[ind]