HUKUM Tawassul. Masalah ini menjadi ajang perdebatan umat Islam sejak lama, baik ulama atau orang awam. Ustaz Farid Nu’man Hasan menjelaskan masalah ini yaitu sebagai berikut.
Masalah ini menjadi ajang perdebatan umat Islam sejak lama, baik ulama atau orang awam.
Sebelumnya kita lihat dulu makna tawassul, berikut ini:
التَّوَسُّل لُغَةً : التَّقَرُّبُ . يُقَال : تَوَسَّل الْعَبْدُ إِلَى رَبِّهِ بِوَسِيلَةٍ إِذَا تَقَرَّبَ إِلَيْهِ بِعَمَلٍ . وَفِي التَّنْزِيل : { وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ }
Makna tawassul menurut bahasa adalah taqarrub (mendekat).
Dikatakan: “Seorang hamba mendekatkan (tawassala) diri kepada Rabbnya dengan wasilah (perantara/sarana/jalan), mendekatkan diri kepada-Nya dengan amal perbuatan.”
Di dalam Al Quran: dan carilah jalan (al wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 10/69)
Jadi, manusia diperintahkan untuk mencari wasilah yang bisa mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala. Ini adalah dalil umum dibolehkannya tawassul.
Baca Juga: Doa Itu Empat Ribu Tahun
Hukum Tawassul atau Berdoa Melalui Perantara
Namun, yang menjadi objek masalahnya adalah tawassul yang bagaimanakah itu? Pembicaraan tawassul, untuk selanjutnya, menjadi lebih spesifik lagi, yakni akan identik dengan berdoa melalui perantara.
Itulah makna yang sering dibahas, dan diributkan banyak manusia.
Bukan lagi pembahasan pada perintah Allah Ta’ala untuk mendekatkan diri kepadaNya, dengan berbagai sarana seperti membaca Al Quran, shalat, shaum, sedekah, dzikir, dan sarana taqarrub ilallah yang lainnya.
Sebab hal-hal ini memang telah disepakati oleh siapa pun juga sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala.
Pada praktik di lapangan, ketika orang berdoa dengan bertawassul, banyak orang-orang awam menyangka bahwa yang dilakukannya adalah tawassul kepada orang shalih atau Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah wafatnya.
Padahal yang mereka lakukan adalah meminta tolong kepada makhluk yang sudah wafat, bukan meminta tolong kepada Allah Ta’ala melalui makhluk (tawassul).
Dengan demikian, hal tersebut bisa membuat pelakunya pada kemusyrikan yang besar. Ini pun diingkari oleh yang menyetujui tawassul dengan orang shalih dan para nabi, sebab itu bukan maksud mereka.
Tentu keduanya – meminta tolong kepada makhluk dan meminta tolong kepada Allah Ta’ala melalui makhluk– adalah dua hal yang berbeda.
Namun, banyak orang awam yang tidak mengetahuinya, bahkan ada pula yang mengaku ahli agama menyamaratakannya,
di antara mereka ada yang menilai tawassul adalah sama dengan istighatsah (minta tolong) kepada makhluk,
hingga akhirnya mereka menggenaralisasi semua tawassul adalah syirik, karena itu adalah minta tolong kepada makhluk.
Termasuk tawassul kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam setelah wafatnya, dan kepada orang shalih setelah wafatnya pula.
Ucapan: “Ya Allah, dengan kemuliaan Nabi-Mu, ampunilah dosaku.”
Bagi mereka ini adalah haram dan syirik, karena meminta harus murni kepada Allah Ta’ala, tidak boleh diikutsertakan dengan siapa pun hatta seorang nabi yang paling mulia.
Di sisi lain, ada pula yang mengira apa yang mereka lakukan dengan meminta kepada makhluk, itulah tawassul. Mereka mengucapkan: “Ya syaikh fulan, ampunilah aku, berkahilah hidupku.”
Mereka anggap ini adalah tawassul. Padahal tidak demikian, ini adalah minta tolong kepada penghuni kubur yang jelas-jelas syiriknya. Kedua pihak sama-sama keliru.
Pada titik ini, memang tawassul telah memasuki kawasan aqidah, yakni permintaan tolong seorang hamba kepada sesama hamba, seperti minta rezeki, minta ampun, dan permintaan lain yang hanya layak dipanjatkan kepada Allah Ta’ala.
Oleh karena itu, ada ulama dan pengikutnya, yang bersikeras memasukkan tawassul dalam pembahasan aqidah.
Baca Juga: 11 Keistimewaan Anak yang Berbakti kepada Orang Tua
Tawassul yang Benar
Saya tidak akan membahas apa itu tawassul, bagaimana tawassul dan seterusnya.
To the point saja, bahwa di tengah beragam pandangan ulama tentang tawassul ada beberapa tawassul yang lebih selamat dan dekat kebenaran, yang ditegaskan oleh dalil-dalil syara’.
Nah, baik pihak yang pro dan anti tawassul pun setuju dengan tawassul jenis ini. Tawassul dengan Asma Allah Ta’ala.
Dalilnya adalah:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu…” (QS. Al A’raf (6): 180) Contoh: kalimat Yaa Rahmaan Irhamnii .. (Wahai Yang Maha Pengasih, kasihanilah aku ..)
Tawassul dengan minta doanya Orang shalih ketika hidup
Berkata Syaikh Shalih Fauzan Hafizhahullah:
وقد استسقى عمر بن الخطّاب- رضي الله تعالى عنه- بدعاء العبّاس عمّ الرسول صلى الله عليه وسلم، وقال: “اللهم إنّا كُنّا نستسقي بنبينا فتسقينا، وإنا نستسقي بعمّ رسولك، قم يا عبّاس فادعو”، فيدعو العبّاس والنّاس يؤمنِّون. وهذا توسُّل بدعاء الصالحين، وكما توسّل معاوية رضي الله عنه بيزيد الجُرْشي، وغيرُهم.
“Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu pernah beristisqa (minta hujan) dengan doanya Al ‘Abbas, paman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Ya Allah, sesungguhnya kami dahulu meminta hujan dengan Nabi kami dan Kau telah memberi hujan kepada kami, dan sesuangguhnya kami beristisqa dengan paman Rasul-Mu,”
Bangunlah ‘Abbas, lalu berdoalah.” Maka Al ‘Abbas berdoa dan manusia mengaminkan.
Inilah tawassul dengan doa orang shalih, sebagaiman tawassulnya Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu dengan Yazid Al Jursyi, dan selain mereka.”
Baca Juga: Belajar Keutamaan Tiga Hal dari Tiga Orang yang Terjebak dalam Gua
Tawassul dengan Amal Shalih
Dalilnya adalah kisah tiga orang yang terjebak di gua lalu mulut gua tersebut tertutup batu besar.
Untuk membukanya, mereka berdoa kepada Allah Ta’ala dengan bertawassul kepada Allah Ta’ala melalui amal shalih yang pernah mereka lakukan masing-masing. Kisah ini masyhur.
Tiga Tawassul ini telah ditekankan oleh Syaikh Al Albani sebagai Tawassul yang masyru’ (disyariatkan), dan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi pun menguatkan pendapat Syaikh Al Albani ini.
Tawassul kepada Allah Ta’ala dengan perantara Keimanan kepada Allah Ta’ala
Dalilnya:
رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِياً يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ
“Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): “Berimanlah kamu kepada Tuhanmu”, Maka Kami pun beriman.
Ya Tuhan Kami, ampunilah bagi Kami dosa-dosa Kami dan hapuskanlah dari Kami kesalahan-kesalahan Kami, dan wafatkanlah Kami beserta orang-orang yang banyak berbakti.” (QS. Ali Imran (3): 193)
Tawassul kepada Allah Ta’ala dengan Keimanan dan Ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Salam
Dalilnya:
رَبَّنَا آمَنَّا بِمَا أَنْزَلْتَ وَاتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِين
“Ya Tuhan Kami, Kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah Kami ikuti rasul, karena itu, masukanlah Kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)” (QS. Ali Imran (3): 53)
Tawassul kepada Allah Ta’ala dengan Tauhid
Syaikh Shalih Fauzan Hafizhahullah berkata:
والتوسُّل بالتّوحيد: (أسألك بأنّك أنت الله لا إله إلاَّ أنت)، وكما توسّل ذو النون – عليه الصلاة والسلام- وهو في بطن الحوت: {فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ}
“Tawassul dengan tauhid: “Aku minta kepadaMu, karena Engkaulah Allah Tiada Ilah kecuali Engkau.”
Sebagaimana tawassulnya Dzun Nun (Nabi Yunus ‘Alaihissalam), ketika di perut ikan, dia berdoa: “ Maka ia menyeru dalam Keadaan yang sangat gelap:
“Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha suci Engkau, Sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al Anbiya (22): 87).”
Demikianlah tawassul yang disepakati kebolehannya. (Lihat Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan, I’anah Al Mustafid bi Syarhi Kitabut Tauhid, Juz. 3, Hlm. 369-370, cet. 3, 1423H/2002M. Al Muasasah Ar Risalah)
Sementara Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah ditanya bolehkah bertawasul dengan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau menjawab:
أَمَّا التَّوَسُّلُ بِالْإِيمَانِ بِهِ وَمَحَبَّتِهِ وَطَاعَتِهِ وَالصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَيْهِ وَبِدُعَائِهِ وَشَفَاعَتِهِ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا هُوَ مِنْ أَفْعَالِهِ وَأَفْعَالِ الْعِبَادِ الْمَأْمُورِ بِهَا فِي حَقِّهِ . فَهُوَ مَشْرُوعٌ بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ وَكَانَ الصَّحَابَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ يَتَوَسَّلُونَ بِهِ فِي حَيَاتِهِ وَتَوَسَّلُوا بَعْدَ مَوْتِهِ بِالْعَبَّاسِ عَمِّهِ كَمَا كَانُوا يَتَوَسَّلُونَ بِهِ
“Ada pun bertawassul dengan beriman kepadanya (Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Salam), mencintainya, mentaatinya, bershalawat dan salam atasnya,
dengan doanya dan syafa’atnya dan yang lainnya, baik bertawassul dengan perbuatannya, dan perbuatan manusia yang diperintahkan sesuai haknya.
Maka, itu adalah perbuatan yang disyariatkan sesuai kesepakatan kaum muslimin, dan para sahabat bertawassul dengannya pada masa hidupnya,
dan bertawassul kepada Al Abbas, pamannya, setelah kematiannya, sebagaimana dahulu mereka bertawassul dengannya (ketika masih hidup, pen).” (Majmu’ Al Fatawa, Juz. 1, Hlm. 140).[ind]