USTAZ, bagaimana hukum shalat dengan sutrah atau pembatas, apakah wajib atau sunnah? Saya lihat beberapa kawan begitu keras tentang sutrah.
Mereka bahkan sampai bermuka masam kepada saudaranya yang tidak pakai sutrah, memangnya sutrah wajib ya, Ustaz?
Ustaz Farid Nu’man Hasan, S.S., M.Ikom. menjelaskan, sangat disayangkan sikap seperti itu.
Sutrah bagi orang shalat adalah sunnah menurut mayoritas ulama, bahkan kesepakatan ulama, sebagaimana yang dikatakan Syaikh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah.
Terhadap Sunnah, tentu kita tidak menyepelekannya, tapi tidak dibenarkan juga bersikap arogan kepada saudara kita yang tidak menjalankannya.
Hadis-hadis tentu anjuran shalat memakai sutrah (penghalang) di depan orang shalat begitu banyak, tapi ada juga kasus yang mengindikasikan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam shalat tidak menghadap sutrah.
Di antaranya:
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma:
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ بَعْضِ الصَّفِّ وَأَرْسَلْتُ الْأَتَانَ تَرْتَعُ فَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ فَلَمْ يُنْكَرْ ذَلِكَ عَلَيَّ
“Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam shalat di Mina tanpa menghadap tembok, maka aku lewat di hadapan sebagian shaff lalu aku gembalakan keledaiku, lalu aku masuk ke barisan, namun tidak ada yang mengingkari itu.” (HR. Bukhari No. 76)
Hadis ini menunjukkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam shalat tanpa menghadap ke tembok, dengan kata lain tidak ada sutrah.
Baca Juga: Hukum Shalat Memakai Masker saat Sakit
Hukum Shalat dengan Sutrah atau Pembatas
Bagaimana penjelasan para ulama tentang hadis ini?
Imam Asy Syafi’i Rahimahullah mengatakan:
قول ابن عباس: “إلى غيرجدار” يعني إلى غير سترة.
Perkataan Ibnu Abbas “menghadap tanpa adanya tembok” artinya menghadap tanpa adanya sutrah.
(Dikutip Imam Ibnul Atsir, Asy Syafi fi syarhi Musnad Asy Syafi’i, 1/493)
Imam Ibnu Baththal Rahimahullah berkata:
وفيه : أن الإمام يجوز أن يصلى إلى غير سُترة ، وذلك يدل أن الصلاة لا يقطعها شىء
Pada hadis ini menunjukkan bahwa imam dibolehkan shalat tanpa adanya sutrah, dan hadis ini juga menunjukkan bahwa shalat tidaklah terputus oleh apa pun yang lewat di depannya.
(Syarh Shahih Al Bukhari, 1/162)
Imam Al ‘Ainiy Rahimahullah mengatakan:
ذلك ليبين أن السترة ليست شرطا بل سنة، أو كان ذلك نادرا منه، والذي واظب عليه النبي صلى الله عليه وسلم، طول دهره: الصلاة إلى سترة.
Hal itu untuk menjelaskan bahwa sutrah bukan syarat (sahnya shalat), tapi itu sunnah, atau hal itu merupakan perilaku yang jarang terjadi darinya, tapi yang sering dan getol Nabi Shallallahu alaihi wa sallam lakukan sepanjang hidupnya adalah: shalat itu menghadap sutrah.
(Imam Badruddin Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari Syarh Shahih Al Bukhari, 6/296)
Kemudian bagaimanakah hukumnya?
Saya sampaikan ulasan ulama-ulama abad 20, baik yang jebolan Al Azhar dan Arab Saudi.
Kita perhatikan ulasan para ulama alumni Al Azhar.
1. Syaikh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah
Beliau berkata:
وليست واجبة باتفاق الفقهاء؛ لأن الأمر باتخاذها للندب، إذ لا يلزم من عدمها بطلان الصلاة وليست شرطاً في الصلاة، ولعدم التزام السلف اتخاذها، ولو كان واجباً لالتزموه، ولأن الإثم على المار أمام المصلي، ولو كانت واجبة لأثم المصلي، ولأن «النبي صلّى الله عليه وسلم صلى في فضاء ليس بين يديه شيء» رواه البخاري.
“Sutrah bukanlah kewajiban menurut KESEPAKATAN FUQAHA (ahli fiqih), sebab perintah untuk memakainya menunjukkan sunnah.
Jika hal itu wajib, maka batallah shalatnya, padahal dia bukanlah syarat shalat. Para salaf tidak selalu memakainya, seandainya wajib, niscaya mereka akan selalu memakainya.
Alasan lainnya, lantaran dosa diperuntukkan bagi orang yang lewat di depan orang yang shalat, jika hal itu wajib, tentu dosanya adalah untuk yang shalat.
Lagi pula Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah shalat di tanah lapang dan di hadapannya tidak ada sesuatu apa pun. (HR. Bukhari).
(Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 2/118)
Empat mazhab fiqih Ahlussunah, baik Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hambaliyah (Hanabilah), mengatakan sutrah adalah sunnah.
Bahkan Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan TIDAK MENJADI SUNNAH jika yakin shalat aman dari orang yang lewat di hadapannya.
Sebab maksud dari adanya sutrah, agar orang tahu bahwa kita sedang shalat sehingga mereka tidak lalu lalang di hadapan kita.
2. Syaikh ‘Athiyah Saqr Rahimahullah
Beliau menjelaskan:
واستحباب جعل السترة يستوى فيه خشية مرور أحد وعدم الخشية كما قال الشافعية والحنابلة وقال الحنفية والمالكية : إذا أمن مرور أحد فلا يستحب ، لأن ابن عباس رضى اللّه عنهما قال : إن النبى صلى الله عليه وسلم صلى فى فضاء وليس بين يديه شيء . رواه أحمد وأبو داود ورواه البيهقى وقال : له شاهد بإسناد أصح من هذا عن الفضل بن عباس .
“Dan disunahkan meletakkan sutrah, sama saja baik keadaan khawatir adanya orang yang lewat atau tidak, sebagaimana yang dikatakan kalangan Syafi’iyyah dan Hanabilah.
Sedangkan, Hanafiyah dan Malikiyah mengatakan: “Jika telah aman dari orang yang lewat maka tidaklah disunahkan.”
Karena Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma mengatakan: “Sesungguhnya Nabi Shalat di lapangan luas dan di hadapannya tidak ada penghalang apa-apa.”
Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan juga Al Baihaqi, dan dia berkata: “Hadis ini memiliki syahid (saksi/penguat) dengan sanad yang lebih shahih dari ini, dari jalur Al Fadhl bin Abbas.”
(Fatawa Al Azhar, 9/7)
3. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah
Beliau berkata:
يستحب للمصلي أن يجعل بين يديه سترة تمنع المرور أمامه وتكف بصره عما وراءها
“Disukai (sunah) bagi orang yang shalat meletakkan di depannya sebuah pembatas untuk mencegah orang lewat di depannya, dan menghalangi pandangannya melihat hal-hal di belakang pembatas itu.”
(Fiqhus Sunnah, 1/255)
Selanjutnya, pendapat para ulama kerajaan Arab Saudi.
1. Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahullah
Beliau ditanya tentang apa hukum sutrah bagi orang shalat, beliau menjawab:
السترة سنة مؤكدة، وقد قال النبي صلى الله عليه وسلم: أخرجه أبو داود برقم ( 596) كتاب الصلاة, باب الدنو من السترة والنسائي برقم (740) كتاب القبلة , باب الأمر بالدنو من السترة إذا صلى أحدكم فليصل إلى سترة وليدن منها رواه أبو داود بإسناد جيد ، وكان النبي صلى الله عليه وسلم في أسفاره إذا سافر تنقل معه العنزة وكان يصلي إليها عليه الصلاة والسلام، فهي سنة مؤكدة وليست واجبة ؛ لأنه قد ثبت عنه صلى الله عليه وسلم أنه صلى في بعض الأحيان إلى غير سترة.
“Sutrah adalah sunah muakadah. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda yang dikeluarkan oleh Abu Daud (No. 596) Kitab Ash Shalah Bab Ad Danu Minas Sutrah, juga An Nasa’i (No. 740)
Kitab Al Qiblah Bab Al Amru bid Danu minas Sutrah: “Jika salah seorang kalian shalat maka shalatlah dengan menghadap sutrah dan mendekatlah kepadanya.”
Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad jayyid. Adalah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pada beberapa perjalanannya, jika dalam safar beliau membawa tombak dan beliau shalat menghadapnya.
Ini adalah sunah muakadah bukan wajib. Lantaran telah tsabit (kuat/shahih) dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau shalat kadangkala tanpa memakai sutrah.”
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat, 24/21)
2. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah
Beliau berkata:
السترة للمأموم ليست بمشروعة لأن سترة الإمام سترةٌ له ولمن وراءه وأما للإمام والمنفرد فهي مشروعة فيسن أن لا يصلي إلا إلى سترة ولكنها ليست بواجبة على القول الراجح الذي عليه جمهور أهل العلم لحديث ابن عباس رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي في منى إلى غير جدار وكان راكباً على حمار أتان أي أنثى فمر بين يديه بعض الصف فلم ينكر ذلك عليه أحد فقوله إلى غير جدار قال بعض أهل العلم إنما أراد رضي الله عنه إلى غير سترة لأن الغالب في عهد الرسول صلى الله عليه وسلم أن منى ليس فيها بناء ولحديث أبي سعيد إذا صلى أحدكم إلى شيء يستره من الناس فأراد أحد أن يجتاز بين يديه فليدفعه فقوله إذا صلى إلى شئٍ يستره يدل على أن الصلاة إلى السترة ليس بلازمة وإلا لما احتيج إلى القيد وعلى هذا فيكون الأمر بالسترة أمراً للندب وليس للوجوب هذا هو القول الراجح في اتخاذ السترة
“Sutrah bagi makmum tidaklah disyariatkan, karena sutrahnya imam adalah sutrah baginya juga, dan orang-orang di belakangnya.
Ada pun bagi yang shalatnya sendiri, maka itu disyariatkan, maka disunahkan agar jangan shalat melainkan dengan adanya sutrah.
Akan tetapi, hal itu tidak wajib berdasarkan pendapat yang kuat yang menjadi pegangan jumhur (mayoritas) ulama.
Sebagaimana hadis Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam shalat di Mina tanpa menghadap dinding.
Sebagian ulama mengatakan, bahwa maksud Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu adalah tanpa menghadap ke sutrah.
Sebab, pada masa Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam secara umum, kota Mina tidak memiliki bangunan. Juga hadis Abu Said,
“Jika salah seorang kalian shalat maka hendaknya dia membuat penghalang dari manusia.”
Maka, maksudnya adalah seorang boleh mencegah orang yang di hadapannya. Lalu sabdanya:
“Jika shalat hendaknya membuat penghalang” menunjukkan bahwa sesungguhnya shalat menghadap sutrah bukanlah kelaziman, jika hal itu lazim, kenapa pemakaiannya dikaitkan karena adanya kebutuhan?
Oleh karena itu, masalah sutrah ini adalah sesuatu yang sunah bukan wajib, inilah pendapat yang kuat dalam hal pemakaian sutrah.
(Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, Fatawa Nur ‘Alad Darb No. 840)
3. Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al Jibrin Rahimahullah
Beliau berkata:
وأما السترة التي هي الشاخص أمام المصلي فهي سنة، وليست بواجبه، وذلك أن يصلى إلى سارية أو جدار، أو شيء مرتفع عن الأرض كسرير أو كرسي، فإن لم يجد فليخط خطاً كالهلال، وذلك في حق الإمام والمنفرد، وتتأكد في الصحراء كمصلي العيد، وفي السفر، فأما في المساجد فالأصل عدم الحاجة، والاكتفاء بحيطان ممتدة في الصفوف، أو يكتفى بطرف السجادة التي يصلي عليها، وليس هناك ما يدل على الوجوب، وقد ورد الحديث الذي في السنن بلفظ “إذا صلى أحدكم إلى سترة فليدن منها” وفي حديث آخر “إذا صلى أحدكم إلى شيء يستره فلا يدعن أحداً يمر بين يديه فإن أبي فليقاتله فإنما هو شيطان” والله أعلم.
“Ada pun sutrah yaitu suatu pembatas di depan orang shalat itu adalah sunah, bukan kewajiban.
Hal itu dengan cara shalat menghadap tiang atau dinding, atau sesuatu yang tinggi dari permukaan bumi, seperti kasur dan kursi.
Jika tidak ada, maka hendaknya dia membuat garis seperi bulan sabit. Hal ini merupakan hak imam dan shalat sendiri, dan lebih ditekankan lagi ketika shalat di lapangan luas seperti lapangan ketika shalat hari raya dan dalam perjalanan.
Ada pun di masjid, pada dasarnya tidaklah diperlukan. Telah mencukupi dinding yang tersusun di barisan atau ujung sajadah tempat dia shalat. Tidak ada dalil yang menunjukkan kewajibannya.
Telah datang riwayat dalam kitab Sunan dengan lafaz: “Jika salah seorang kalian shalat menghadap sutrah, maka hendaknya mendekatinya.”
Dalam hadis lain: “Jika salah seorang kalian shalat menghadap sesuatu yang menghalanginya, maka jangan biarkan seorang pun melewati di depannya, jika dia menolak maka bunuhlah sesungguhnya dia itu syetan.”
Wallahu a’lam. (Fatawa Ibnu Jibrin, 13/32)
Pendapat ini juga umumnya ulama salaf dan khalaf. Ada pun pihak yang mewajibkan sutrah -misalnya- adalah Imam Asy Syaukani, Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman, dan yang mengikuti mereka.
Menurut mereka, hadis tentang “tidak menghadap tembok” bukan berarti tanpa sutrah.
Hadis ini mesti dikaitkan dengan hadis lain yang menyebutkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam shalat di gurun dengan membawa panah, dan dijadikan sebagai sutrah di hadapannya.
Jadi, tidak menghadap tembok bukan berarti tidak ada sutrah. Demikian. Wallahu a’lam.[ind/alfahmu]