BAGAIMANA hukum menikahi wanita hamil? Saya mau bertanya Ustaz, bagaimana hukumnya menikah ketika hamil? Banyak pendapat yang bilang tidak sah, dan sama saja pezina.
Bagaimana kalau tujuannya menutupi aib keluarga. Tapi menurut Madzab Imam Syafi’i sah saja menikah dengan wanita hamil hasil zina. Bagaimana Ustaz? Mohon jawabannya. Syukron Ustaz.
Baca Juga: Hukum Menikahi Wanita Hamil Hasil Zina
Hukum Menikahi Wanita Hamil
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Menikahi Wanita Hamil
Kita akan rinci menjadi beberapa pembahasan:
A. Hukum Menikahi Wanita/Pria pezina
Yang dimaksud pezina di sini adalah yang memang zina menjadi kebiasaannya (seperti pelacur atau lelaki hidung belang).
Para ulama membagi hukumnya menjadi dua bagian:
Pertama, jika yang menikahi adalah orang baik-baik (mukmin, shalih), maka hukumnya haram, kecuali si pezina itu tobat dahulu.
Larangan ini berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:
1. Alquran
Al-Maidah ayat ayat 5:
“Pada masa ini, dihalalkan bagi kamu (memakan makanan) yang lezat-lezat serta baik-baik dan makanan (sembelihan) orang-orang Ahli Kitab itu adalah halal bagi kamu, dan makanan (sembelihan) kamu adalah halal bagi mereka (tidak salah kamu memberi makan kepada mereka).
Dan (dihalalkan bagi kamu mengawini) dengan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya – di antara perempuan-perempuan yang beriman, dan juga perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya dari kalangan orang-orang Ahli Kitab dahulu daripada kamu apabila kamu beri mereka maskawinnya, sedang kamu (dengan cara yang demikian), bernikah bukan berzina, dan bukan pula kamu mengambil mereka menjadi perempuan-perempuan simpanan.”
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:
لا يحل للرجل أن يتزوج بزانية، ولا يحل للمرأة أن تتزوج بزان، إلا أن يحدث كل منهما توبة
“Tidak halal bagi seorang pria menikahi wanita pezina, dan tidak halal seorang wanita menikahi seorang pria pezina, kecuali jika ia bertaubat.”
Setelah itu, Syaikh Sayyid Sabiq menjadikan ayat di atas sebagai dalil. Tentang ayat di atas, Syaikh Sayyid Sabiq juga berkata:
أي أن الله كما أحل الطيبات، وطعام الذين أوتوا الكتاب من اليهود والنصارى، أحل زواج العفيفات من المؤمنات، والعفيفات من أهل الكتاب، في حال كون الازواج أعفاء غير مسافحين ولا متخذي أخدان
“Yakni sesungguhnya Allah sebagaimana Dia menghalalkan yang baik-baik, dan makanan orang-orang yang diberi Alkitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, (maka) Dia menghalalkan menikahi wanita yang menjaga kehormatan dari kalangan mukminat, dan juga wanita yang menjaga kehormatan dari kalangan Ahli kitab, dengan keadaan bahwa mereka sebagai suami istri yang sebelumnya sama-sama menjaga kehormatan, tidak berzina, dan tidak pernah sebagai gundik (simpanan).”
Imam Ibnu Katsir berkata tentang ayat, “dan (dihalalkan bagi kamu mengawini) dengan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatannya – di antara perempuan-perempuan yang beriman,”
أي: وأحل لكم نكاح الحرائر العفائف من النساء المؤمنات
“Yakni dihalalkan bagi kalian menikahi wanita merdeka yang menjaga kehormatan dari kalangan wanita beriman.”
Imam Abu Ja’far Ath-Thabari berkata tentang ayat tersebut:
أحل لكم، أيها المؤمنون، المحصنات من المؤمنات – وهن الحرائر منهن- أن تنكحوهن
“Dihalalkan bagi kalian, wahai orang-orang beriman, wanita-wanita merdeka dari kalangan beriman, untuk kalian menikahi mereka ..”
Jadi, yang halal bagi orang baik-baik hanyalah menikahi wanita yang beriman yang menjaga kehormatannya, bukan pezina.
An-Nuur ayat 3:
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”
Ayat ini jelas-jelas menyebutkan bahwa yang layak menikahi pezina adalah pezina juga, tidak sepatutnya orang beriman menikahi orang pezina atau musyrik. Mereka pezina dan musyrik hanya layak dinikahi dengan pezina dan musyrik juga.
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah tentang ayat ini:
ومعنى ينكح: يعقد. وحرم ذل
ك، أي وحرم على المؤمنين أن يتزوجوا من هو متصف بالزنا أو بالشرك، فانه لا يفعل ذلك إلا زان أو مشرك.
“Makna dari ‘mengawini’ adalah mengadakan akad. Yang demikian itu diharamkan, yaitu diharamkan atas orang-orang beriman menikahi orang-orang yang disifati sebagai pezina atau musyrik, karena tidak ada yang menikahi mereka kecuali pezina dan musyrik juga.”
2. As-Sunnah
Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya:
أَنَّ مَرْثَدَ بْنَ أَبِي مَرْثَدٍ الْغَنَوِيَّ كَانَ يَحْمِلُ الْأَسَارَى بِمَكَّةَ وَكَانَ بِمَكَّةَ بَغِيٌّ يُقَالُ لَهَا عَنَاقُ وَكَانَتْ صَدِيقَتَهُ قَالَ جِئْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْكِحُ عَنَاقَ قَالَ فَسَكَتَ عَنِّي فَنَزَلَتْ :وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ. فَدَعَانِي فَقَرَأَهَا عَلَيَّ وَقَالَ لَا تَنْكِحْهَا
Bahwa Martsad bin Abi Martsad al Ghanawi dahulu dia membawa keluarganya ke Mekkah, di Mekkah ada seorang pelacur bernama ‘Anaq, dia adalah teman dari Martsad. Dia (Martsad) berkata: Aku datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu aku berkata: “Wahai Rasulullah, bolehkah aku nikah dengan ‘Anaq?”, dia berkata: Rasulullah mendiamkan saya, maka turunlah ayat “Wanita pezina tidaklah menikah kecuali dengan laki-laki pezina atau musyrik.”
Lalu, Rasulullah memanggil saya dan membacakan kepada saya, lalu bersabda: “Jangan kau menikahinya!”
Hadits ini tegas melarang pria baik-baik menikahi wanita pezina (pelacur).
B. Hukum Pernikahan Dua Orang yang Berzina
Masalah pernikahan dua orang yang berzina, tetapi mereka bukan pelacur atau bukan laki-laki hidung belang ini adalah yang paling banyak terjadi. Mereka berzina karena rayuan setan, dan tidak mampu menjaga diri, akibat pergaulan bebas (baca: pacaran).
Namun, mereka bukanlah pezina dalam artian orang yang menjadikan zina adalah kebiasaan seperti pelacur, germo, atau laki-laki hidung belang. Apakah mereka berdua boleh dinikahkan?
Berkata Imam Asy-Syaukani Rahimahullah:
وقد اختلف في جواز تزوّج الرجل بامرأة قد زنى هو بها ، فقال الشافعي ، وأبو حنيفة : بجواز ذلك . وروي عن ابن عباس ، وروي عن عمر ، وابن مسعود ، وجابر : أنه لا يجوز . قال ابن مسعود : إذا زنى الرجل بالمرأة ثم نكحها بعد ذلك فهما زانيان أبداً ، وبه قال مالك
“Telah terjadi perbedaan pendapat tentang kebolehan seorang laki-laki menikah dengan wanita yang pernah berzina dengannya. Imam Asy Syafi’i dan Imam Abu Hanifah berpendapat: boleh.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, dan Jabir mereka berpendapat: tidak boleh. Berkata Ibnu Mas’ud: Jika laki-laki berzina dengan wanita, lalu dia menikahinya setelah itu, maka mereka berdua adalah pezina selamanya!, ini juga pendapat Imam Malik.”
Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, dan Imam Ibnu Hazm, juga menguatkan pendapat yang mengharamkan.
Sebenarnya golongan yang mengharamkan, pada akhirnya membolehkan juga, dengan syarat pelakunya sudah bertaubat.
Imam Ahmad membolehkan dengan syarat dia bertaubat, dan masa iddahnya selesai. Abu Hanifah dan Asy-Syafi’i berpendapat boleh mengawininya tanpa menunggu masa iddah. Bahkan Imam Asy Syafi’i membolehkan mengawini wanita zina sekalipun sedang hamil, sebab hamil semacam itu (karena pelakunya adalah laki-laki yang akan menikahinya, pen) bukan alasan haramnya kawin.
C. Nikahnya Wanita Hamil
Harus dirinci sebagai berikut:
1. Hamil karena suaminya sendiri, tetapi suaminya meninggal atau wafat, dia jadi janda. Bolehkah menikah dan dia masih hamil?
Sepakat kaum muslimin seluruhnya, wanita hamil dan dia menjanda ditinggal mati suami atau cerai, hanya baru boleh nikah setelah masa iddahnya selesai, yaitu setelah kelahiran bayinya.
Tidak boleh baginya nikah ketika masih hamil, karena ‘iddahnya belum selesai.
2. Gadis Hamil karena berzina, bolehkah dia menikah?
Jika yang menikahinya adalah laki-laki yang menghamilinya, maka menurut Imam Asy-Syafi’i adalah boleh. Imam Abu Hanifah juga membolehkan tetapi tidak boleh menyetubuhinya sampai ia melahirkan.
Imam Ahmad mengharamkannya. Begitu pula Imam Malik dan Imam Ibnu Taimiyah. Sedangkan, jika yang menikahinya adalah laki-laki lain, maka menurut Imam Ibnu Taimiyah juga tidak boleh kecuali ia bertaubat, yang lain mengatakan boleh, selama ia bertaubat plus iddahnya selesai (yakni sampai melahirkan), inilah pendapat Imam Ahmad. Dan, pernikahan ini tidak bisa dibatalkan walau pun laki-laki yang menghamilinya pada akhirnya bertanggung jawab. Demikian. Wallahu A’lam.
Ada pun status anaknya adalah para ulama membagi dua kategori:
1. Jika lahirnya bayi tersebut setelah enam bulan pernikahan, maka laki-laki yang menikahinya boleh menjadi ayahnya secara nasab, sehingga boleh menjadi wali (jika anak itu perempuan), dan berhak mendapatkan waris.
2. Jika lahirnya bayi tersebut sebelum enam bulan pernikahan, maka bayi itu tidak bisa dinasabkan ke ayahnya, hanya ke ibunya. Konsekuensinya ayahnya tidak bisa menjadi wali (jika anak itu perempuan), dan tidak pula saling mewarisi.
Dua kategori di atas disampaikan oleh umumnya para ulama, kecuali Imam Abu Hanifah yang mengatakan sama saja, kapan pun bayi itu lahir, maka dia bisa dinasabkan kepada ayahnya itu.
Wallahu a’lam.
[ind/Cms]