ChanelMuslim.com – Ustadz, bagaimanan hukum mencicipi buah sebelum membeli. Tukang jualan buah kan biasanya membolehkan untuk mencicipi sedikit. Nah itu bagaimana hukumnya? Tetap nggak boleh karena belum jadi milik kita, atau boleh karena penjualnya meridhoi?
Hukum Mencicipi Buah Sebelum Membeli, dijelaskan oleh Ustaz Farid Nu’man Hasan.
Bismillah wal hamdulillah..
Mencicipi sebelum membeli buah adalah bagian dari upaya membeli buah dengan hasil yang terbaik, agar tidak gharar atau tertipu oleh pedagang buah. Jika membeli pakaian orang akan memeriksa bahan, jahitan, kenyamanan, dan ukuran di badan dengan dipakai dulu. Itu jika beli pakaian, ada pun beli buah tentu ada caranya sendiri tidak cukup lihat-lihat dan pegang-pegang. Inilah hakikatnya, menghindari gharar dan zhulm. Ditambah lagi ini terjadi biasanya atas ridha penjualnya.
Baca Juga: Mencicipi Masakan Khas Betawi di Aston Priority Simatupang Hotel Conference Center
Hukum Mencicipi Buah Sebelum Membeli
Ada penulis yang mengatakan mencicipi tidak boleh dengan alasan belum jadi milik. Pendapat ini sah-sah saja, tapi pendapat ini berlebihan dan berbahaya.
Sebab, pendapat ini berdampak pada .. kita pun tidak boleh mencoba sepatu dulu saat membelinya, tidak boleh mencoba sendal saat membelinya, tidak boleh test Drive mobil atau motor saat membelinya, tidak boleh mencoba baju dulu saat membelinya, .. dan lain-lain.
Kebolehan ini diperkuat oleh tradisi jual beli di masyarakat kita dari zaman ke zaman dan tidak ada yang mengingkarinya, termasuk para ulama hingga datangnya pendapat syadz (nyeleneh) yang mengharamkannya.
Dalam madzhab Syafi’i dan Hanafi, ‘Urf (tradisi) adalah salah satu sumber hukum.
Berdasarkan ucapan Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu:
ما رآه المسلمون حسنا فعند الله حسن
Apa yg dipandang baik oleh kaum muslimin maka di sisi Allah Ta’ala juga baik.
(HR. Ahmad no. 3600, hasan)
Para ulama mengatakan:
الثابت بالعرف كالثابت بالنص
Ketetapan hukum karena tradisi itu seperti ketetapan hukum dengan Nash/dalil. (Syaikh Muhammad ‘Amim Al Mujadidiy At Turkiy, Qawa’id Al Fiqhiyah, no. 101)
Syaikh Abu Zahrah mengatakan, bahwa para ulama yang menetapkan ‘Urf sebagai dalil, itu sekiranya jika tidak ditemukan dalil dalam Al Qur’an dan As Sunnah, dan itu pun tidak bertentangan dengannya. Tapi, jika bertentangan maka ‘Urf tersebut mardud (tertolak), seperti minum khamr dan makan riba. (Ushul Fiqih, Hlm. 418)
Demikian. Wallahu a’lam
(ind)