ChanelMuslim.com- Khadijah radhiyallahu ‘anha wafat di pangkuan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan kemudian, Nabi saw. wafat di pangkuan Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Indahnya ketika cinta menjadi ranum di saat musim “kering”. Menjadi begitu menarik di saat paceklik. Menjadi begitu mesra di saat hidup sedang susah.
Kalau cinta seperti itu yang sedang diperoleh, sungguh orang itu sedang menikmati surga dunia. Sebuah ungkapan indah yang menunjukkan kebahagiaan dalam taman rumah tangga: baiti jannati. Rumahku surgaku.
Inilah indikator paling mudah seperti apa wajah cinta suami istri. Yaitu, cinta yang justru bersemi di kala segala yang pantas dimiliki tiba-tiba pergi. Harta habis. Fisik menyusut di banding masa muda. Karir seperti pohon cabai di musim kemarau. Suram dan layu menunggu ajal.
Kalau di masa begitu sulit saja cinta justru bersemi, bagaimana rasanya ketika semuanya serba mudah. Tentu, akan lebih romantis lagi.
Teladan dari para Nabi begitu jelas terurai dalam sejarah. Jangan bayangkan kehidupan rumah tangga Nabi saat bersama Khadijah begitu nyaman. Mungkin ya ketika belum ada tugas risalah. Tapi tidak begitu ketika tugas Nabi terpampang begitu berat di depan mata mereka berdua.
Cobaan demi cobaan silih berganti “menghantam” rumah tangga mereka. Dua putera mereka, Abdullah dan Qasim, wafat di saat masih kecil. Tinggallah empat puteri mereka. Dua di antaranya, Ummu Kulsum an Ruqayyah menikah dengan dua putera Abu Lahab, tokoh Quraisy yang begitu memusuhi dakwah Nabi.
Memang rumah Nabi dan Abu Lahab bersebelahan. Tapi ketika konflik itu menjadi, suasana ini justru menjadi “siksaan” tersendiri untuk keluarga Nabi. Puncaknya, dua putera Abu Lahab itu pun menceraikan dua puteri Nabi. Bukan sekadar diceraikan, tapi juga dihinakan.
Pertanyaannya, adakah pergeseran cinta suami istri teladan itu di saat sebegitu susahnya hidup mereka? Sebaliknya, justru di saat-saat seperti itulah kemesraan itu tak bergeser sedikit pun. Dari sekian keturunan bangsawan Quraisy di masa itu, mungkin hanya Nabi yang tidak berpoligami.
Khadijah r.a. bagi Nabi saw., adalah cintanya yang paling puncak. Cinta suami istri seperti yang tak berketepian. Tidak heran jika Aisyah r.a. pernah cemburu karena Nabi sering memuji-muji Khadijah padahal beliau sudah wafat.
Begitu pun ketika Madinah menjadi rumah baru untuk rumah tangga Nabi. Hidupnya menjadi jauh lebih sederhana lagi. Rumahnya mengecil, ruangannya jauh lebih sederhana. Alas tidurnya hanya anyaman pelepah daun kurma.
Aisyah r.a. menceritakan bagaimana sederhananya kehidupan rumah tangga mereka. Pernah dalam satu bulan, dapur mereka tak “mengepul” sedikit pun, alias tak ada yang bisa dimasak.
Dengan Aisyah pula, rumah tangga Nabi pernah dihantam fitnah dahsyat yang menghebohkan seisi kota Madinah. Yaitu ketika orang-orang munafik mengisukan hal buruk tentang Aisyah yang masih usia belasan tahun itu pulang berdua dengan seorang pemuda karena tercecer rombongan Nabi saw.
Tidak tanggung-tanggung, Allah Subhanahu wata’ala sendiri yang menjelaskan dalam Alquran bahwa Aisyah jauh dari yang dituduhkan. Dan, gugurlah fitnah keji yang menimpa keluarga Nabi saat itu. Sebuah konflik batin yang luar biasa, bagi Nabi juga terhadap Aisyah.
Kisah teladan ini bukan sekadar sebagai bacaan dan kajian. Sejatinya menjadi bahan bakar ampuh untuk memberikan energi segar. Bahwa, ketika cinta suami istri telah dibangun atas fondasi ridha Allah subhanahu wata’ala, tak ada kata layu dalam wujud cinta.
Cinta terus membara. Romantisme terus hidup. Baik di saat bahagia maupun susah. Karena hidup ini memang dirancang bukan untuk senang-senang. Melainkan bersusah payah “menikmati” ujian yang tidak menyenangkan.
Justru bersyukurlah, karena masih ada orang yang mencintai dan dicintai. Sebaik-baik kalian, kata Nabi, adalah mereka yang baik terhadap keluarganya (pasangannya). Dan, aku adalah yang terbaik dari kalian terhadap keluargaku (pasanganku). (Mh)