ChanelMuslim.com – Ciri cinta sejati itu meluruskan yang bengkok, tanpa menjatuhkan. Meskipun butuh waktu lama. Meskipun menguras banyak kesabaran.
Tak ada manusia sempurna. Selalu saja ada kekurangan. Bukan soal fisik. Melainkan, soal perilaku dan sifat bawaan. Siapa pun dia: suami atau istri.
Ketika ikatan suci menjadi dasar tumbuhnya cinta suami istri, semua awalnya terlihat serba indah. Tak ada kekurangan, apalagi cacat. Namun seiring perjalanan waktu, segala yang pudar dan kusam mulai terlihat dan terasa.
Ciri Cinta Sejati Beribadah Bersama
Mulai dari yang mendasar seperti tentang agama dan ibadah, hingga soal perilaku. Kalau tidak diluruskan, bengkoknya bisa tambah melengkung.
Tapi kalau diluruskan, caranya tak semudah yang dibayangkan. Salah-salah, bukan berubah menjadi lurus, justru akan ada ekses.
Dalam hal agama misalnya, shalatnya tidak lagi di awal waktu. Kadang malah di injury time. Semangat baca Qurannya juga tidak seperti dulu. Kadang satu pekan tidak baca sama sekali.
Soal perilaku, biasanya lebih banyak dari agama. Misalnya, lebih banyak nonton drama asing daripada menyimak tayangan pengajian. Sifat pelitnya mulai kelihatan. Dan yang lebih sering egoisnya. Suami atau istri memiliki potensi yang sama di semua ini.
Meluruskan tanpa Menjatuhkan
Cinta sejati selalu menggiring pemiliknya untuk mengungkapkan rasa cinta itu melalui aksi nyata. Tak seorang pun mencintai akan membiarkan yang dicintai terus melorot dalam keburukan. Meskipun, persoalannya bukan pada yang ekstrim seperti kriminalitas dan sejenisnya. Hanya pada akhlak kepada Allah dan perilaku terhadap orang dekat.
Namun, tetap saja semangat untuk meluruskan tak boleh samar, apalagi luntur. Cinta sejati tidak justru menjadi seperti itu. Sebaliknya, berani menempuh risiko ekses apa pun demi lurusnya yang dicintai.
Pertama, meluruskan itu menyadarkan. Bukan menyalahkan, apalagi memvonis telah begini dan begitu. Dan menyadarkan itu lebih sulit daripada yang lain. Butuh kesabaran agar kata-kata meluruskan kita tak disalahpahami.
Ingatkan apa yang semestinya tentang standar nilai. Misalnya tentang melambat-lambatkan shalat. Ingatkan bahwa shalat yang benar itu seperti ini dan itu.
Dalam hal ini, kita tidak sedang mengajarkan orang yang tidak tahu. Bukan sedang mengisi gelas yang kosong. Melainkan, mengembalikan kesadaran yang mulai terkikis untuk segar kembali.
Karena itu, hindari kata-kata menggurui. Apalagi menyalahkan. Karena yang sedang kita raih kesadaran, bukan rasa bersalah dan perlawanan.
Yang kita harapkan dari munculnya kesadaran adalah kembalinya sosok yang semestinya. Seperti ia yang kita kenal pada waktu lalu. Bukan seperti yang sekarang ini.
Kesadaran Butuh Proses dan Waktu
Kedua, kesadaran butuh proses dan waktu. Menyadarkan seseorang terlebih orang dekat yang kita cintai butuh proses panjang dan waktu yang tidak sebentar.
Inilah yang membedakan dengan menyalahkan. Tak perlu proses dan waktu lama. Cukup tunjukkan saja mana yang salah, selanjutnya terserah.
Hasilnya sangat berbeda. Orang yang disalahkan akan kecewa, mungkin marah, dan mungkin malah menjauh. Tapi yang disadarkan akan rela menjadi seperti semula.
Tumbuh rasa cinta yang lebih dalam. Dan, tentu saja akan selalu dekat.
Tiga, konsisten dalam “pertarungan”. Dalam proses meluruskan dan menyadarkan harus dimunculkan sikap subjektif yang semestinya. Artinya, ketika kita meluruskan sesuatu, kita konsisten menunjukkan bahwa kita tidak berada di sesuatu itu.
Contoh dalam hal hobi nonton drama asing yang bisa melalaikan agama. Sikap kita jelas tidak tertarik dengan tontonan itu. Jangan malah ikut dan akhirnya bisa larut. Kecuali, drama yang bermanfaat, yang menyegarkan persaudaraan, dan sejenisnya. Itu pun disikapi hanya sekadar saja.
Begitu pun dalam contoh menunda-nunda shalat. Tunjukkan bahwa kita tidak akan toleran dengan hal itu. Selagi tidak ada halangan yang berarti, shalat dilakukan beberapa saat setelah azan.
Jika ini ditunjukkan secara konsisten, maka akan ada kesesuaian antara sikap kita dengan yang kita suarakan secara lembut dan sabar. Pada saatnya, akan ada perbandingan dua keadaan. Satu yang baik dan benar, satunya lagi yang keliru.
Cinta sejati tidak berarti harus selalu ngikut dan larut. Tapi, tidak juga harus menjauhi dan menjatuhkan. Buktikan, bahwa meluruskan dan menyadarkan bisa seiring dengan ungkapan cinta yang sebenarnya. Meskipun butuh waktu dan kesabaran. [Mh]