ChanelMuslim.com- Nalar dan rasa bukanlah strata dalam diri manusia. Keduanya bukan menunjukkan mana yang lebih unggul dan rendah. Justru, nalar dan rasalah yang memberikan modal utama pasangan manusia agar bisa mengarungi hidup dengan bahagia.
Begitu banyak fragmen dalam hidup ini yang memberikan kita pemahaman tentang nalar dan rasa, pria dan wanita. Dari situlah akan semakin nampak seperti apa dominasi nalar pria dan buaian rasa seorang wanita.
Sepasang suami istri baru saja mendapat kabar duka. Reaksi yang muncul dari masing-masing pihak sangat menarik untuk disimak. Sang suami terdiam seribu bahasa. Pandangannya menunduk. Sesekali, kepalanya mengangguk pelan.
Namun, tidak begitu reaksi dari istri. Ia menangis sejadi-jadinya. Air matanya mengalir deras. Mulutnya terus saja mengoceh tak jelas. Sesekali, ia berteriak agak keras.
Bayangkan kalau kedua-duanya terdiam seribu bahasa. Dan bayangkan jika kedua-keduanya sama-sama menangis dan berteriak keras.
Contoh lain ketika sepasang suami istri berada di pasar. Manakah di antara keduanya yang jauh lebih aktif “menikmati” suasana tawar menawar. Dan manakah di antara keduanya yang terlihat bete dengan suasana “chaos” pasar.
Contoh berikutnya, sepasang suami istri baru saja pulang dari berpergian jauh. Beberapa hari, keduanya tidak serumah dengan dua balitanya yang dititipkan sementara ke sanak keluarga. Seperti apakah reaksi keduanya ketika dua bocah cilik itu mengekspresikan kerinduannya.
Manakah di antara keduanya yang lebih dulu dihampiri anak-anaknya. Ayah atau ibukah yang ikutan menangis ketika sang bocah menangis. Seperti apa reaksi ayah ibu itu ketika bocah-bocahnya menghambur untuk memeluk. Lebih lama mana dari keduanya yang ikutan balas memeluk dua buah hatinya.
Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini mungkin bisa menyegarkan kita tentang apa yang disebut dengan dominasi nalar dan rasa. Rasa seperti suasana arus gerakan yang ada, dan nalar seperti peta yang memandu arah gerak suasana itu.
Kalau di sebuah ruang hidup hanya ada suasana gerakan tanpa peta, masing-masing elemen akan saling bertabrakan. Dan jika hanya ada peta tanpa gerakan dinamis, ruang hidup tak ubahnya seperti jajaran fly over kota besar nan megah tanpa arus kehidupan.
Sebagian ajaran syariah memahamkan kita tentang porsi dominasi nalar pria dan rasa wanita ini. Pria bisa menjadi wali dirinya sendiri, sementara wanita harus diwakili seorang pria terpercaya: ayah, saudara pria, anak yang pria, kakek, dan seterusnya. Kenapa?
Karena memilih pasangan hidup terlebih lagi yang akan menjadi pemandu masa depan si wanita, bukan sekadar permainan rasa. Melainkan, kecermatan dan ketegasan untuk merangkai fakta-fakta yang dimiliki si pelamar. Layakkah dan patutkah?
Selain itu, jika lelaki menilai lelaki lain boleh jadi lebih objektif daripada wanita menilai lelaki. Seperti halnya wanita mungkin lebih objektif menilai wanita lain daripada lelaki menilai wanita.
Soal syarat perwalian nikah ini begitu strik dalam syariah Islam. Walaupun jika tidak ada lelaki terpercaya dan terdekat, wanita diharuskan untuk mencari perwakilan dari lelaki terpercaya yang diutus negara, atau yang biasa disebut wali hakim.
Namun di sisi lain, syariah lebih merekomendasikan hak pengasuhan anak yang belum akil balig kepada pihak wanita daripada pria, jika terjadi perceraian di antara keduanya. Walaupun tanggung jawab anak-anak sepenuhnya ada pada pria.
Syariah tentu tidak asal membuat ketentuan. Karena hal itu datang dari Yang Maha Tahu terhadap ciptaanNya. Dan dalam hal ini, kita bisa banyak belajar dari hikmah ketentuan itu.
Bahwa, memang ada dominasi nalar yang dimiliki pria, dan ada dominasi rasa yang melingkupi wanita. Namun, keduanya berinteraksi dalam porsi-porsi yang pas.
Memahami tentang porsi dominasi pria dan wanita ini juga memahamkan siapa kita sebenarnya. Agar tidak ada pria yang ingin seperti wanita, dan wanita yang seperti pria. Bukan dalam kecenderungan kebutuhan biologis, melainkan dalam pengaturan kehidupan rumah tangga.
Lagi-lagi, bukan berarti menunjukkan bahwa wanita lebih rendah dari pria. Tapi lebih untuk memahamkan kita bahwa masing-masing bereksistensi dalam porsinya.
Rasul mulia mengungkapkan itu dengan begitu bijak. Masing-masing kalian adalah pemimpin, dan masing-masing akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. (Mh/bersambung)