ChanelMuslim.com – Sahabat, tahukah kamu, ternyata sekolah di Norwegia sudah mengajarkan bisnis sejak SMP. Hal ini terungkap dari postingan Bunda Icha Savitry Khairunnisa yang menetap di sana.
Dalam tulisannya, Bunda Icha menceritakan tentang anaknya, Fatih, yang duduk di kelas 10 dan sudah mulai berbisnis. Yuk, kita baca tulisan selengkapnya.
BISNIS
Pagi sehabis mandi, salat subuh, dan sarapan, Fatih cek ponselnya. Saya intip, lalu tanya, “Ngecek apa kamu, Nak?”
“Paketku on the way.”
“Oh? Paket apa? Bunda kok nggak tau?”
“Itu lho, Nda. Aku sama teman-teman kelompok bisnisku, mau jualan Pop Mie. Belinya di toko Indonesia yang di Oslo. Aku beli pakai gift voucher hadiah dari lomba essay KBRI Oslo itu, lho. Jadi aku bisa dibilang beli tanpa modal. Nanti kalau dijual malah dapat profit. Smart, kan?” katanya sambil cengar-cengir.
Boleh juga idenya. Modal minimalis, untung optimal, kalau mereka bisa jualan.
“Emang ada yang mau beli?” tanya saya.
“Oh, jelas ada. Aku dan teman-teman sudah survey. Sudah ada yang mau beli. Nanti kita jual di kantin sekolah. Bunda tau, kan, orang sini tuh suka sama Indomie dan mi buatan Indonesia?”
Cerdas!
Dan emang betul. Toko-toko halal di kota kami selalu nyetok Indomie berkardus-kardus (tanpa gembok).
Dan dalam sekejap persediaan selalu habis. Micin memang juara di mana-mana.
“Bunda doain semoga daganganmu laris, ya. Terus uang hasil jualan nanti mau diapain?”
“Ya dipake bisnis lagi, Nda. Kita udah rencana mau jualan masker, mumpung pandemi gini.”
Baca Juga: Cerita Bunda Icha Naik Balon Udara di Cappadocia
Sekolah di Norwegia Ajarkan Bisnis sejak SMP
Anak SMP kok semangat banget jualan?
Jadi ceritanya, bisnis adalah salah satu mata pelajaran pilihan yang ditawarkan di kelas 10 di Norwegia. Pilihan lainnya adalah praktik kerja (tanpa bayaran) di tempat pilihan (kebanyakan memilih supermarket).
Ada juga pilihan produksi panggung musik dan teater, serta desain produk (fashion atau produk lainnya).
Fatih sejak awal memilih bisnis. Untungnya teman-teman satu gengnya pada akur dengan pilihan yang sama. Mereka berlima serius mulai cari modal.
Salah satunya dengan mengumpulkan botol plastik bekas dari rumah ke rumah, untuk dikirim ke mesin daur ulang dan dapat duit dari sana.
Mereka punya website dan medsos juga dengan kode khusus “elevbedrift / EB”, yang artinya bisnis milik pelajar. Kode ini resmi dan digunakan untuk membedakan bisnis perorangan umum, bisnis perusahaan, dan bisnis rintisan milik siswa.
Berkali-kali Fatih dan keempat temannya rapat di rumah. Diskusi soal produk apa aja yang layak jual, strategi marketing, target calon pembeli, mengelola keuangan, sampai membuat kwitansi.
Semangat mereka langsung menular ke saya, meski saya enggak jualan apa-apa, sih.
Anak-anak ini hanya dibimbing di awal saja oleh gurunya. Selebihnya mereka dilepas, diberi kebebasan mau mengisi jam pelajaran itu dengan cara apa, selagi masih dalam koridor belajar.
Kalau mereka ada masalah atau butuh saran, baru pak guru turun tangan.
So, biasa melihat mereka “keluyuran” di jam sekolah demi menjalankan tugas mereka. Dan yang namanya tugas, pasti dinilai. Nilai ini akan masuk rapor tiap semester.
Jadi meski dikasih kebebasan penuh, tetap ada tanggung jawab. Meski kesannya seperti lagi main, ini adalah belajar.
Belajar bisnis bukan hal enteng. Semua orang pasti setuju.
Melihat Fatih dan teman-temannya ngider di komplek kami dan bahkan sampai mendatangi beberapa restoran waktu mereka jualan madu tempo hari, saya dan ayahnya senang.
Kami ikut beli sebotol madu jualannya sebagai bentuk dukungan, dan Fatih senang sekali.
Madu produksi peternakan lebah di kota sebelah itu laris manis. Dia tunjukkan kantung berisi uang hasil jualan madu.
Beberapa pembeli, terutama yang manula, memang memilih membeli dengan kontan. Selebihnya anak-anak ini dibukakan oleh pihak sekolah nomor akun khusus untuk jual-beli.
Saat jualan masker tahun lalu, mereka datangi toko grosir demi mencari kain dengan harga murah. Mereka sempat mencoba menjahit masker sendiri dengan mesin jahit di sekolah, demi menghemat ongkos produksi.
Meski akhirnya menyerah juga. Para remaja lelaki ini rupanya nggak berbakat jahit-menjahit. Akhirnya mereka mencari dan menemukan penjahit yang mau menjahitkan masker dengan harga pelajar.
Hasil memang tak mengkhianati usaha. Dulu jualan masker alhamdulilah laku. Perfect timing.
Jualan madu ludes.
Jualan Pop Mie di kantin sekolah? Kita nantikan hasilnya. Semoga sama larisnya.[ind]
Sumber: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10159509726939020&id=793874019