BUAH jatuh tak jauh dari pohonnya. Anak akan tumbuh mengikuti teladan orang tuanya.
Di abad ke-11 masehi, ada seorang mujahid soleh bernama Najmuddin Ayyub. Ia lahir di daerah perbatasan Armenia dan Azarbaijan. Ayah dan kakeknya merupakan ksatria dan sultan di kawasan tersebut.
Najmuddin bersama saudaranya bernama Asaduddin selalu hijrah mengikuti lokasi jihad di mana keduanya ditugaskan. Hingga keduanya tiba di sebuah daerah bernama Tikrit yang tak jauh dari pusat Kekhalifahan Abbasiyah di Bagdad, Irak saat ini.
Di situpun Najmuddin dalam rangka tugas sebagai komandan pasukan sekaligus sebagai amir di Tikrit.
Namun, ada satu yang ‘aneh’ dari Najmuddin dalam pandangan Asaduddin. Saudaranya itu belum juga menikah. Padahal, usianya sudah lewat dari layak menikah.
“Apa yang membuatmu tak kunjung menikah?” tanya Asaduddin.
“Aku belum menemukan calon yang cocok,” jawab Najmuddin ringan.
Asaduddin melanjutkan lebih serius lagi, “Mau aku carikan jodoh untukmu?”
“Siapa?” sahut Najmuddin.
Asaduddin menyebutkan sejumlah nama wanita bangsawan. Ada putera sultan, ada putera menteri, dan seterusnya. Mungkin hal itu dinilai sepadan dengan saudaranya yang saat itu menjabat sebagai amir.
“Aku tak cocok dengan mereka semua,” jawab Najmuddin lagi-lagi dengan santai.
“Ya, lalu siapa yang cocok untukmu?” ucap Asaduddin menimpali saudaranya.
“Hm, aku ingin istri solehah yang menggandeng tanganku menuju surga dan melahirkan seorang mujahid yang akan mengembalikan Baitul Maqdis ke pangkuan kaum muslimin,” ungkapnya.
Asaduddin hanya terdiam. Ia seperti menilai kalau saudaranya bicara sekenanya.
Waktu pun berlalu. Suatu kali, Najmuddin sedang berbicara dengan seorang ulama di masjid Tikrit. Tiba-tiba, ada seorang muslimah yang memanggil nama ulama dari balik tirai.
Sang ulama pun meminta izin Najmuddin untuk menemui muslimah itu. Najmuddin mempersilakan dan suara keduanya terdengar jelas oleh Najmuddin.
“Ya Syaikh, aku menolak lamarannya,” ucap si muslimah itu.
“Kenapa? Bukankah pria yang kuutus untuk melamarmu itu tampan dan bangsawan,” tanya Syaikh.
“Aku tidak cocok dengannya,” ucap si muslimah.
“Jadi, engkau cocok dengan yang seperti apa?” tanya Syaikh lagi.
“Aku ingin seorang lelaki soleh yang menggandeng tanganku menuju surga dan aku akan melahirkan seorang mujahid yang akan mengembaikan Baitul Maqdis ke pangkuan kaum muslimin,” pungkasnya.
Deg. Najmuddin terperanjat bukan kepalang. Kok bisa sama dengan yang pernah ia ucapkan ke saudaranya tentang jodoh yang ia inginkan.
Setelah wanita itu pulang. Najmuddin menyatakan ke Syaikh bahwa ia mantap akan melamar muslimah tadi.
“Tapi, ia hanya wanita fakir dan orang kampung biasa,” ucap Syaikh agak sungkan.
“Insya Allah, ia jodohku yang selama ini aku cari,” ucap Najmuddin begitu meyakinkan.
Benar saja. Kelak dari pernikahan keduanya, lahir seorang mujahid yang soleh yang kemudian mengembalikan Baitul Maqdis ke kaum muslimin. Anak itu bernama Shalahuddin Al-Ayyubi.
**
Dahulukan bentuk diri kita seperti yang kita inginkan terhadap anak-anak kita.
Anak meneladani ayah ibunya. Ayah ibu yang soleh, insya Allah, akan mencetak putra-putri yang soleh. [Mh]