ChanelMuslim.com–Rusdi Mathari, atau sering disapa Cak Rusdi. Sebagai orang yang telah malang-melintang selama lebih dari 25 tahun dalam bidang jurrnalistik, Rusdi paham betul dengan seluk-beluk profesinya. Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan, adalah salah satu kumpulan tulisan Cak Rusdi yang diterbitkan oleh Penerbit Mojok pada tahun 2018. Berisikan esai/opini tentang dunia jurnalisme yang pernah ditulisnya melalui blog, atau sosial media Beliau.
Jika salah satu tujuan jurnalistik adalah memberikan kritik, serta sarana melawan ketidakadilan, maka dunia jurnalisme seharusnya selalu bersedia dikritik, begitu kata Cak Rusdi. Ketika konsentrasi kepemilikan media meningkat, senjakala media cetak hampir tiba, tsunami hoaks dan berita palsu muncul, gejala ketidakpercayaan terhadap media arus utama membesar, jurnalisme sedang berada dalam episode-episode menegangkan. Di buku ini, Rusdi Mathari membaca situasi tersebut dan mengajukan berbagai refleksi serta kritik. Buku ini berasal dari status Facebook, catatan blog, materi pelatihan jurnalistik, dan juga liputan yang dilakukan Rusdi saat ia masih bekerja di media.
Buku ini juga bisa dibilang menjadi ensiklopedia sederhana dari pengalaman serta pengetahuan Rusdi tentang dunia media. Maka buku ini berisi total 38 artikel berupa ulasan dan kritik yang dikumpulkan dari berbagai sumber walau jika melihat sosial media yang ia miliki akan sangat banyak lagi tulisan-tulisan yang bisa dikumpulkan, namun karena beberapa alasan tim pengumpul tidak melakukanya. Tulisannya berisi tentang media, tidak hanya di Indonesia, tapi juga global. Selain memberikan perspektif kepada publik bagaimana seorang jurnalis memandang jurnalisme itu sendiri, juga sebagai ensiklopedia sederhana tentang media. Cermin yang merefleksikan ketika media semakin teridustrialisasi dan jurnalis bisa jadi teralienasi dari apa yang dilakukannya sendiri.
Setidaknya, tulisan-tulisan yang ada dalam buku ini sudah cukup untuk menyampaikan pesan Rusdi bahwa jurnalisme harus dirawat dengan kritik. Bukan bertujuan mengkerdilkan jurnalisme itu sendiri, sebaliknya, untuk menjaga martabat jurnalisme dan kebebasan pers. Laku jurnalistik tidak hanya melibatkan media semata melainkan publik dengan begitu, kritik sudah sewajarnya datang dari mana saja dan mestinya bisa diterima dengan besar hati.
Salah satu tulisan artikel berjudul Hoax, Para Monyet, dan Wartawan menyoroti maraknya berita bohong di media. The Hoax (2005) adalah sebuah judul film yang berkisah tentang Clifford Michael Irving, reporter investigasi terkenal di Amerika Serikat. Dia juga menulis beberapa buku, termasuk biografi Howard Hughes, salah satu orang kaya di Amerika. Buku itu kemudian diangkat ke layar lebar, meski banyak bagian yang diubah atau dihilangkan. Irving kesal dan menganggap film itu penuh kebohongan.
The Hoax terkenal bukan lantaran menarik untuk ditonton, tetapi menjadi istilah baru untuk suatu kebohongan.
Hoax alias berita bohong seringnya direspon publik kelas menengah di media sosial dengan berbagai reaksi. Mereka yang mengaku melek informasi dan teknologi rupanya lebih suka membaca judul berita tanpa perlu repot mengecek kebenarannya. Dalam hal ini Kompas pun pernah “kecolongan” menyebarkan hoax tentang PM Singapura Lee Hsien Loong yang memutuskan pertemanan dengan SBY di Facebook (2014). Begitu juga Tempo.co yang “latah” menyebarkan berita tentang ulama yang melarang perempuan makan pisang karena dikhawatirkan membuat mereka terangsang secara seksual.
Menanggapi hal tersebut, Daru Priyambodo, pemimpin redaksi Tempo.com menulis artikel berjudul The Clicking Monkey. Menurut Daru, the clicking monkey adalah julukan untuk orang yang dengan riang gembira menyebarluaskan hoaks di media sosial. Celakanya, the clicking monkey justru banyak berasal dari kalangan wartawan. Mereka itulah wartawan pemalas yang atas nama roda industri pemberitaan dan kebebasan pers, memungut informasi apa pun tanpa perlu mengukurnya dengan standar dan etika jurnalistik, mengemasnya menjadi berita, lalu menyebarkannya tanpa malu. (Halaman 19, Hoaks, para monyet dan wartawan)
Sayangnya, kita tidak akan pernah lagi bisa menikmati karya Rusdi selanjutnya. Beliau telah wafat pada 2 Maret 2018 lalu setelah berjuang melawan tumor di bagian punggung dan lehernya. Buku ini merupakan karya keempatnya setelah Aleppo (EA Books, 2016), Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya (Buku Mojok 2016), dan Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam (Buku Mojok, 2018).[ind/Amanji]