SURAT Al Ahzab ayat 7 tentang menepati janji setia kepada ALlah Subhanahu wa taala dijelaskan oleh Ustaz K.H. Aunur Rafiq Saleh Tamhid, Lc.
Allah berfirman:
وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنكَ وَمِن نُّوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ ۖ وَأَخَذْنَا مِنْهُم مِّيثَاقًا غَلِيظًا
“Dan ingatlah ketika Kami mengambil perjanjian dari para Nabi dan dari engkau (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh”. (al-Ahzab: 7)
Yang dimaksud dengan perjanjian yang teguh (mitsaqan ghalizha) adalah janji setia untuk menegakkan agama Allah (iqamatud-din).
Ibnu Katsir berkata:
“Allah memberitahukan ihwal Rasul Ulul Azmi yang berjumlah lima orang dan para Nabi lainnya bahwa Dia telah mengambil janji setia dan ikrar dari mereka untuk menegakkan agama Allah,
menyampaikan risalah-Nya, tolong menolong, dan bersatu”.
Pengambilan janji setia ini dilakukan oleh Allah dalam bentuk ikrar dan Allah menjadi saksinya, sebagaimana disebutkan Allah di ayat lain:
قَالَ أَأَقْرَرْتُمْ وَأَخَذْتُمْ عَلَىٰ ذَٰلِكُمْ إِصْرِي ۖ قَالُوا أَقْرَرْنَا ۚ قَالَ فَاشْهَدُوا وَأَنَا مَعَكُم مِّنَ الشَّاهِدِينَ
“Allah berfirman, “Apakah kamu berikrar dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab: “Kami berikrar (mengakui)”.
Allah berfirman, “Kalau begitu saksikanlah, dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu”. (Ali Imran: 81)
Pengambilan janji setia ini dilakukan oleh Allah setelah mereka diangkat menjadi Nabi dan Rasul, agar mereka memiliki komitmen yang tinggi dalam menegakkan agama-Nya. Firman Allah:
لِّيَسْأَلَ الصَّادِقِينَ عَن صِدْقِهِمْ ۚ وَأَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا أَلِيمًا
“Agar Dia menanyakan kepada orang-orang yang benar tentang kebenaan mereka, dan Dia menyediakan siksa yang pedih bagi orang-orang kafir”. (al-Ahzab: 8)
Baca Juga: Surat Al Baqarah Ayat 10 tentang Orang yang Meninggalkan Dakwah
Surat Al Ahzab Ayat 7 Menepati Janji Setia kepada Allah
Dengan cara ini, Allah menjamin kelangsungan dan eksistensi agama-Nya melalui adanya orang-orang yang memiliki komitmen tinggi dalam menyebarkan dan menegakkan agama-Nya di sepanjang sejarah kehidupan umat manusia.
Oleh karena itu, para Nabi dan Rasul dalam melaksanakan tugas menegakkan agama Allah pun mencari dan membina para pengikut setia (hawariyun, anshar, atau ashab) kemudian mengambil janji setia dari mereka.
Firman Allah tentang Nabi Isa alaihis salam:
فَلَمَّا أَحَسَّ عِيسَىٰ مِنْهُمُ الْكُفْرَ قَالَ مَنْ أَنصَارِي إِلَى اللَّهِ ۖ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنصَارُ اللَّهِ آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
“Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka, berkatalah ia, “Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk Allah?”
Kaum Hawari berkata, “Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri”. (Ali Imran: 52)
Demikian pula Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengambil janji setia dari para sahabatnya (ashab), sehingga dalam sirah ada peristiwa bai’at atau janji setia ‘Aqabah, Hudaibiyah dan lainnya.
Firman Allah:
إِنَّ الَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ اللَّهَ يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ ۚ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَىٰ نَفْسِهِ ۖ وَمَنْ أَوْفَىٰ بِمَا عَاهَدَ عَلَيْهُ اللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Bahwa orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah.
Tangan Allah diatas tangan-tangan mereka, maka barangsiapa melanggar janjinya niscaya akibat dia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar”. (al-Fath: 10)
Ayat ini menyebutkan bahwa janji setia yang diambil oleh para Nabi dari para pengikut setia mereka itu pada hakikatnya adalah janji setia kepada Allah.
Hal ini diingatkan agar tidak terjadi figuritas dalam dakwah perjuangan menegakkan agama Allah, karena figur-figur itu, sekalipun Nabi dan Rasul, pasti akan meninggalkan mereka sedangkan dakwah ini tidak boleh berhenti.
Para sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam membuktikan bahwa mereka adalah orang-orang beriman yang menjaga janji setia mereka untuk menegakkan agama Allah hingga akhir hayat mereka.
Firman Allah:
مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُم مَّن قَضَىٰ نَحْبَهُ وَمِنْهُم مَّن يَنتَظِرُ ۖ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah.
Dan di antara mereka ada yang gugur, dan diantara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya)”.al-Ahzab: 23)
Para sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak terjebak ke dalam figuritas. Karena itu, setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam wafat pun mereka tetap menjaga janji setia mereka dalam menegakkan agama Allah.
Bahkan tradisi pengambilan janji setia ini terwariskan secara turun temurun sepanjang sejarah dakwah di kalangan para ulama dakwah, karena para ulama adalah pewaris perjuangan para Nabi dan Rasul (Musnad Ahmad, 21716, 21715). Sabda Nabi saw:
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
“Akan senantiasa ada golongan dari umatku yang tegak di atas kebenaran, tidak membahayakan mereka orang yang menentang mereka hingga ketetapan Allah datang sedangkan mereka tetap seperti itu”. (Muslim)
Karena janji setia ini punya konsekuensi sangat berat, sehingga Allah menyebutnya mitsaqan ghalizha (perjanjian yang teguh), maka tidak semua orang memiliki kelayakan untuk melakukannya,
kecuali setelah melalui proses tarbiyah dan pendidikan yang panjang hingga mencapai kesiapan dan kematangan. Sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam:
تَجِدُونَ النَّاسَ كَإِبِلٍ مِائَةٍ لَا يَجِدُ الرَّجُلُ فِيهَا رَاحِلَةً
“Kamu akan mendapati manusia seperti seratus onta, seseorang tidak mendapatkan satu yang layak dijadikan kendaraan (penarik beban) diantara yang seratus itu”. (Muslim, 2547)
Bahkan di antara mereka yang telah mengikuti proses tarbiyah atau pendidikan panjang dan dinilai telah memiliki kelayakan untuk berjanji setia kepada Allah pun ada yang kemudian tidak mampu berkomitmen menjaganya.
Karena itu, di sini perlu diingatkan berbagai akibat fatal dari pembatalan janji setia kepada Allah, agar mereka tidak menganggap sepele masalah ini.[ind]
(bersambung)