ChanelMuslim.com – Ketika Langit Terbelah – Tadabbur Surat al-Infithar (Bag-3), Oleh: Ustadz Dr. H. Saiful Bahri, M.A
Kelalaian Manusia
“Hai manusia, apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah”. (QS. 82: 6)
Bagaimana mungkin manusia lupa dan lalai terhadap Tuhan yang sangat pemurah.
Dia memberi rizki siapa saja, baik yang taat atau yang bejat dan durhaka pada-Nya.
Dia tak pernah menunda rahmat-Nya kepada makhluk-Nya. Semuanya takaran takdir telah ditentukannya. Karena ketaatan dan kemaksiatan makhluk-Nya sama sekali tidaklah mempengaruhi wibawa ketuhanan-Nya.
Baca Juga: Ketika Langit Terbelah – Tadabbur Surat al-Infithar (Bag-2)
Ketika Langit Terbelah, Tadabbur Surat al-Infithar (Bag-3)
Karena itu sangat pas jika kata yang dipakai di sini adalah “al-karim” dan bukan yang lainnya.
Atau apakah kelalaian itu justru disebabkan oleh kemurahan yang diberikan Allah serta kemudahan-kemudahan hidup serta fasilitas yang semuanya diperuntukkan oleh Allah demi kemaslahatan manusia, seperti tutur Yahya bin Mu’adz.
Sangat pantas jika kemudian Allah menyatakan bahwa hanya sedikit dari hamba-Nya yang mampu mengingat-Nya dan bersyukur atas segala karunia dan limpahan nikmat-Nya. Itupun hanya sebagian kecil saja yang bisa disyukuri. Sangat pantas jika kemudian manusia dicap sebagai makhluk yang bodoh dan zhalim.
Padahal Allahlah ” yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang. Dalam bentuk apa saja yang dia kehendaki, dia menyusun tubuhmu”. (QS. 82: 7-8)
Apakah manusia lupa dari mana ia berasal dan bagaimana ia diciptakan? Bukankah ia berasal dari ketiadaan dan tidak pernah disebut sekalipun oleh siapapun sebelumnya. Kemudian Allah jadikan ia ada. Dijadikan dari sel kecil yang berada dalam satu tetes air mani yangtelah ditakar kejadiannya.
Diberi dan dikaruniakan kepadanya tubuh yang sempurna, namun ia tak pernah merasa bahwa itu adalah pemberian dari Tuhan-Nya. Dia –bahkan- lupa padahal hampir setiap saat ia bercermin.
Pernahkah ia berpikir, siapa yang menjadikan susunan wajahnya seperti sekarang ini. Mata, hidung, telinga, mulut, lidah semuanya pada posisi yang sudah sangat pas.
Demikian juga anatomi tubuhnya. Baik bagian luar maupun dalam, siapakah yang menyusunnya. Tengkorak kepalanya yang melindungi otak yang didalamnya ada jutaan sel, siapakah yang sanggup membuatnya dengan demikian detil.
Dia juga yang menjadikannya sesuai dengan kehendak-Nya; apakah ia mirip dengan ibunya atau bapaknya, cantik rupawan atau ada bagian tubuhnya yang kurang sempurna fungsinya.
Namun secara umum, Allah telah membaguskan bentuk manusia) jauh lebih bagus dan sempurna dibandingkan dengan makhluk-makhluk-Nya yang lain.
Dan yang menjadikan manusia sangat keterlaluan dan melampaui batas adalah sikap angkuh dan durhakanya yang tak berhenti namun menjadi-jadi bertambah. Seperti ungkap Allah dalam ayat selanjutnya, “Bukan hanya durhaka saja, bahkan kamu mendustakan hari pembalasan” (QS. 82: 9)
Itulah –kebanyakan- manusia. Lalai dan tak pandai berterima kasih. Naifnya, bukan hanya itu sifat jeleknya, ia menambahnya dengan pendustaan terhadap kebenaran terjadinya hari pembalasan.
Padahal jelas-jelas setiap manusia selalu diikuti oleh malaikat pencatat amal yang tak pernah lalai sedikitpun merekam semua amal perbuatan yang dilakukannya untuk kelak diberikan balasannya sesuai dengan perbuatannya.
Tidakkah ia malu, dalam setiap detiknya ada yang selalu memperhatikannya, merekam amal perbuatannya, yang besar dan kecil.
“Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu). Yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu). Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. 82: 10-12)
Para pencatat amal itu bukan sembarang utusan Allah. Mereka adalah makhluk yang dimuliakan oleh Allah swt dan penduduk langit. Mereka juga sangat disiplin dalam merekam dan membukukan amal perbuatan anak adam dengan teliti. Mereka juga tidak bisa ditipu dan dikelabuhi.
Tak heran, jika kemudian Imam al-Bazzar meriwayatkan sebuah hadits yang didengar oleh sahabat Ibnu Abbas ra. Yaitu tentang larangan bertelanjang, karena ada para malaikat Allah yang selalu menyertai manusia kecuali dalam tiga keadaan: sedang buang hajat, mandi dan ketika berkumpul dengan istrinya).
Balasan yang Setimpal
“Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan” (QS. 82: 13)
Setelah semua buku dan catatan amal diberikan kemudian dipersaksikan kepada masing-masing manusia seluruh anggota tubuhnya yang berbicara sebagai saksi atas titah Sang Maha Kuasa. Tak seorang pun mampu memungkiri perbuatannya. Hanya sesallah yang ada saat itu. Baik ia seorang yang baik ataupun ia seorang yang buruk akhlaknya.
Dan orang-orang yang baik yang ketika di dunia selalu takut akan adzab Allah serta bertakwa kepada-Nya, maka Allah sediakan bagi mereka berbagai kenikmatan yang belum ada tandingannya sebelum dan sesudahnya.
Karena itu ungkapan ”la fî na’îm” sangat relevan. Karena mereka benar-benar tenggelam dalam kenikmatan yang tiada tara. Di ayat lain bahkan digambarkan tenggelam dalam kesibukan menikmati karunia Allah. Dan mereka memang benar layak demikian setelah jerih payah dan usahanya di dunia.
Setelah ia menahan hawa nafsunya untuk menaati ajaran Allah dan tunduk pada titah-Nya.
Sementara itu sebaliknya orang-orang yang melampaui batas tadi sebagaimana diceritakan di atas. “Dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka” (QS. 82: 14)
Orang-orang durhaka dan para pendusta tadi akan benar-benar sengsara. Berada dalam keabadian adzab yang pedih di neraka. Hari yang mereka dustakan juga akan menjadi saksi kebenaran kejadiannya.
Saat itulah mereka benar-benar terpanggang dalam panas dan pedihnya siksa neraka, “Mereka masuk ke dalamnya pada hari pembalasan” (QS. 82: 15). Dan begitu mereka masuk, “mereka sekali-kali tidak dapat keluar dari neraka itu” (QS. 82: 16).
Mereka benar-benar celaka. Hari yang mereka dustakan sekaligus mereka takuti kebenarannya kini telah benar-benar ada di depannya. Bahkan mereka takkan pernah keluar sejenak pun untuk menghirup udara segar atau beristirahat melepas penat.
Sebagaimana yang digambarkan dalam surat an-Naba. “Mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, selain air yang mendidih dan nanah” (QS. 78: 24-25)
Sekali-kali takkan pernah mereka merasakan kenyamanan dan kesejukan. Al-Farra’ menafsirkan ayat 24 surat An-naba dengan kenyamanan beristirahat dari panasnya hawa neraka sehingga disebut dengan ”la bardan”, takkan ada kesejukan dan kenyamanan dari siksa neraka yang tak kenal ampun.
Bahkan sekedar mendapatkan hembusan angin pun tidak, seperti tutur Az-Zajjaj dalam tafsirnya. Tidak juga mereka mendapatkan sesuatu yang bisa mengusir dahaga dan haus karena menahan panas yang sangat luar biasa. Tak ada air. Kecuali air yang menggelegak atau nanah yang sangat menjijikkan dan baunya menyengat.
Mungkin gambaran ini tak pernah terdetik dalam hati para pendusta itu. Atau jika mereka sempat percaya, ditutupi oleh gengsi untuk mengungkapkan iman dan mengikutinya dengan perbuatan baik. [Ln]
Bersambung…