ChanelMuslim.com – Hati yang mati ini ditulis oleh Ustaz Muhammad Abduh Tuasikal. Mengapa dan bagaimana ibadah itu dilakukan hingga dapat terus menghidupkan hati?
Dalam ibadah ditanyakan dua hal, yaitu: (1) Mengapa? (2) Bagaimana?
Sebagian salaf berkata,
ما من فعلة وإن صغرت إلا ينشر لها ديوانان : لم وكيف أى لم فعلت وكيف فعلت
“Setiap amalan tidak lepas dari dua pertanyaan yaitu mengapa dan bagaimana, maksudnya (1) mengapa dilakukan? (2) bagaimana dilakukan?” (Ighatsah Al-Lahfan, 1: 42).
Pertanyaan pertama dimaksudkan apakah motivasi yang mendorong melakukan amalan tersebut, apakah dilakukan untuk meraup keuntungan dunia, suka akan pujian manusia, takut pada celaan mereka, ataukah ingin mendekatkan diri pada Allah.
Pertanyaan kedua dimaksudkan bagaimana amalan tersebut dilakukan, apakah sesuai yang disyari’atkan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam– ataukah tidak.
Intinya, pertanyaan pertama tentang ikhlas dalam amalan, sedangkan pertanyaan kedua tentang ittiba’ (mengikuti ajaran Rasul – shallallahu ‘alaihi wa sallam-).
Amalan tidaklah diterima melainkan dengan memenuhi dua syarat ini.
Jadi, hati yang selamat dan meraih kebahagiaan adalah hati yang ikhlas dan hati yang berusaha mengikuti setiap petunjuk Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam amalan ibadah.
Ibnul Qayyim pun mengatakan,
فهذا حقيقة سلامة القلب الذي ضمنت له النجاة والسعادة
“Inilah (hati yang ikhlas dan ittiba’) itulah hakikat hati yang salim, yang akan meraih keselamatan dan kebahagiaan.” (Ighatsah Al-Lahfan, 1: 43).
Baca Juga: Yang Lembut Hatinya
Hati yang Mati
Hati yang mati adalah lawan dari hati yang hidup. Hati yang mati adalah hati yang tidak ada kehidupan di dalamnya.
Hati seperti ini tidak mengenal Rabbnya, tidak menyembah-Nya dengan menjalankan perintah-Nya sesuai ia cintai dan ridhoi.
Hati seperti ini bahkan hanya mau menuruti syahwat dan keinginannya walau sampai membuat Allah murka dan marah. Ia tidak ambil pusing apakah Rabbnya peduli ataukah tidak.
Hakikatnya, ia beribadah pada selain Allah dalam hal cinta, takut, harap, ridho, murka, pengagungan dan penghinaan diri.
Jika ia mau mencinta, maka ia mencintai karena hawa nafsunya (bukan karena Allah). Begitu pula ketika ia membenci, maka ia membenci karena hawa nafsunya (bukan karena Allah).
Sama halnya ketika ia memberi atau menolak, itu pun dengan hawa nafsunya. Hawa nafsunya lebih ia cintai daripada ridho Allah.
Hawa nafsu, syahwat dan kebodohan adalah imamnya. Kendaraannya adalah kendaraannya.
Hati yang mati ini adalah hati yang tidak mau menerima kebenaran dan juga tidak mau patuh. Berbeda halnya dengan hati yang sehat yang mengetahui kebenaran, patuh dan menerimanya.
Demikian penjelasan Ibnul Qayyim yang kami sarikan dari kitab Ighatsah Al-Lahfan, 1: 44, 46.
Kalau kita perhatikan, orang yang punya penyakit dalam hati lebih berbahaya dari penyakit badan karena penyakit badan hanya membuat sengsara dan sulit di dunia.
Sedangkan penyakit hati mengakibatkan sengsara dunia dan akhirat.
Moga Allah memberi taufik pada hati agar terus sehat dan dihindarkan dari penyakit yang membahayakan. Aamiin.[ind]
Sumber: Rumaysho.com