ChanelMuslim.com – Bacalah Dengan Nama Tuhanmu (QS. Al-‘Alaq) Bag. 1, Oleh: Ustadz Dr. H. Syaiful Bahri, M.A
Para ulama meyakini bahwa Surat Al-‘Alaq merupakan surat yang pertama kali diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw di Makkah. Sebagaian besar mushaf yang beredar saat ini menulis surat ini dengan nama Surat Al-‘Alaq.
Dan lima ayat pertamanya menjadi wahyu pertama beliau yang disampaikan melalui Malaikat Jibril. Serta ayat-ayat lainnya yang tersisa diturunkan setelah beberapa waktu berlalu dari sejak wahyu pertama diberikan.
Baca Juga: Kenali Dirimu, Kau akan Kenal Tuhanmu
Bacalah Dengan Nama Tuhanmu (QS. Al-‘Alaq) Bag. 1
Tema yang diangkat surat ini cukup beragam. Dari sejak tema wahyu dan turunnya al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw, pembicaraan sifat dan tabiat manusia yang melampaui batas dalam urusan harta, serta kisah Abu Jahal yang menghalang-halangi Nabi Muhammad saw dan melarang beliau untuk shalat di Masjidil Haram.
Surat ini diakhiri dengan ancaman Allah untuk orang-orang yang masih terus bersikukuh dalam kesesatan dan sikapnya yang melampaui batas serta perintah kepada Nabi-Nya untuk meneruskan shalat dan sujudnya tanpa mempedulikan gertakan sang durjana.
Adapun urutannya yang berada setelah Surat At-Tin seolah memberi isyarat hubungan erat antara keduanya.
Terutama dalam pembahasan tentang manusia. Jika dalam surat sebelumnya manusia disebut sebagai penciptaan terbaik yang dilakukan Allah dengan sempurna, maka dalam surat ini dibahas asal muasal penciptaan tersebut serta dimensi lain dari sisi kejiwaan manusia yang kadang melampaui batas serta kufur ni’mat; padahal Allah telah mengaruniakan kepadanya segala kesempurnaan.
”Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan”. (QS. 96: 01)
Itulah bunyi ayat pertama surat ini. Memberikan perintah secara jelas kepada Nabi Muhammad saw. juga kepada umatnya untuk membaca. Membaca dengan nama Allah Sang Pencipta. Hal ini secara langsung memberikan isyarat bahwa umat Islam harus menuntut ilmu.
Karena membaca merupakan pintu ilmu. Dengan membaca cakrawala berpikir seseorang semakin luas. Dengan membaca kebodohan dan ketidaktahuan bisa diobati, bahkan dipunahkan. Dan karena membaca merupakan gerbang ilmu dan pengetahuan.
Apalagi jika perintah membaca ini dikaitkan secara bersamaan dengan menyebut nama Tuhan Sang Pencipta. Tentulah kaitan tersebut ada maksudnya.
Mungkin untuk mengingatkan bahwa kemampuan baca seseorang Allah lah yang mengaruniakannya sebagaimana ia diciptakan oleh-Nya. Karena itu dalam segala aktivitasnya termasuk membaca sudah sebaiknya ia mengingat Sang Pencipta, ”yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah” (QS. 96: 02)
Segumpal darah yang secara anatomis belum bisa disebut sebagai manusia itu nantinya akan terlahir sebagai makhluk sempurna yang bisa membaca. Jika segumpal darah tersebut teronggok di tepi jalan, siapa yang akan menghargai dan memuliakannya?
”Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah”. (QS. 96: 03)
Allahlah yang memuliakannya. Mengangkat derajatnya. Di atas semua makhluk yang diciptakan-Nya. Dzat yang pemurah dan penuh kasih sayang tersebut yang, ”mengajar (manusia) dengan perantaran pena”. (QS. 96: 04)
Dengan belajar membaca dan kemudian menulis maka manusia akan meraih ilmu. Baik ilmu dunia maupun akhirat. Inilah yang oleh Ibnu Katsir kemudian disimpulkan dari sebuah atsar, ”Ikatlah ilmu dengan menulis”. Dengan menjadi manusia yang berilmu sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui menjadi jelas. Sesuatu yang sebelumnya menjadi rahasia berubah tersingkap.
Adam as ditinggikan derajatnya melebihi para malaikat dan semua makhluk-Nya karena diajarkan ”nama-nama” oleh Allah sehingga ia mengetahui sesuatu yang sebelumnya tak diketahuinya. ”Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. 96: 05).
Tidakkah manusia kemudian merasa ada perubahan ke arah baik dari dalam dirinya. Dari tak mampu melihat kemudian ia bisa melihat. Tak mampu bicara dan mengungkapkan sesuatu karena keterbatasannya, kemudian ia bahkan mampu melakukannya dengan baik.
Dari tak berdaya hanya terlentang kemudian ia belajar berbaring miring dan kemudian duduk, lalu berjalan dan berlari serta mengendarai berbagai jenis kendaraan. Dari tak tahu satu hurufpun, kemudian ia bisa merangkai huruf-huruf menjadi kata-kata yang menjadi sarana komunikasi dengan sesama manusia. Siapa yang mengubah kondisi tersebut?
Hanya Allah lah yang mampu menjadikan perubahan ke arah baik tersebut.
Seharusnya karunia penciptaan dan pengajaran yang sangat luar biasa ini direspon positif oleh manusia. Yaitu dengan rasa syukur dan totalitas pengabdian serta penghambaan yang ikhlas kepada-Nya. Namun, justru kebanyakan manusia tak melakukannya. Mereka bahkan bukan hanya tak pandai bersyukur, tapi mendustakan dan mengingkarinya. [Ln]