PACARAN seperti menjadi alternatif dari hubungan pria dan wanita di luar nikah. Bahkan, hubungan ini seperti lazim dan biasa di masyarakat kita.
Pacaran menurut para ulama adalah haram. Banyak ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi shallallahu ‘alahi wasallam yang mengharamkan hubungan ‘gelap’ ini.
Selain dosa yang mengundang murka Allah, setidaknya, ada tiga dampak dari pacaran yang kerap dilupakan orang. Yaitu:
Satu, Selalu Menjadikan Wanita sebagai Pihak yang Paling Dirugikan
Dalam pacaran, wanita selalu menjadi pihak yang paling dirugikan. Hal ini karena ‘kegadisan’nya sudah cacat atau tercoreng. Meskipun ia tidak melakukan hubungan seksual.
Si wanita akan dipandang sebagai ‘bekas’ seseorang. Karena hubungan pacaran mereka diketahui banyak orang.
‘Cacat’nya terjadi karena pacaran itu cara bebas menikmati hubungan pria wanita. Tidak ada aturan yang sah bagaimana batasan pacaran harus dilakukan. Padahal, secara hukum hubungan mereka gelap sama sekali.
Misalnya, tidak ada aturan bahwa pacaran tidak saling bersentuhan, bahkan tidak ada larangan hubungan seksual. Kalau suka sama suka, sepertinya hukum positif tidak mempersoalkan itu.
Nah, jika si wanita mengalami ‘kecelakaan’, tidak ada dasar hukum yang bisa menuntut si pria untuk bertanggung jawab. Hal ini karena dianggap suka sama suka.
Hukum baru bisa menindak jika ada dua alasan. Yaitu, karena terjadi kekerasan terhadap perempuan, dan atau terjadi terhadap wanita di bawah umur.
Dua, Hubungan Hambar pasca Pacaran
Tidak ada ketentuan berapa lama pacaran maksimal berlangsung. Selama belum ada keinginan menikah, pacaran akan terus dan terus.
Kalau hubungan putus di tengah jalan, maka ada kemungkinan akan ada pengulangan drama pacaran dengan pasangan yang berbeda.
Kalau pun akhirnya pacaran mengantarkan pasangan ke gerbang pernikahan, rasanya momen itu menjadi tidak istimewa lagi. Apanya yang istimewa, lha hampir semua ‘adegan’nya sudah ‘terjadi’.
Karena itu tidak heran jika nikah pasca pacaran menjadikan hubungan terasa hambar. Tidak ada kejutan lagi. Kecuali sekadar memenuhi ketentuan hukum yang berlaku.
Hubungan suami istri akhirnya menjadi sekadar rutinitas menunaikan kewajiban. Begitu banyak potensi terjadi putusnya hubungan suami istri di tengah jalan alias perceraian.
Jika perceraian terjadi, lagi-lagi, wanita menjadi pihak yang paling dirugikan. Terlebih sudah dikaruniai bayi atau balita.
Tiga, Hilangnya Kemuliaan Wanita
Meskipun pacaran tidak terjadi perzinahan, kemuliaan seorang gadis sebagai wanita suci menjadi ternodakan. Hal ini karena ada label tidak tertulis pada si wanita: bekas si fulan.
Bekas artinya ada pola hubungan misterius yang tidak diketahui siapa pun kecuali Allah dan mereka berdua.
Dengan kata lain, nilai si wanita menjadi jatuh. Meskipun ia cantik dan menarik, tapi tetap saja, pria lain menilainya tidak seratus persen sebagai wanita mulia.
Jadi, masih mau pakai cara pacaran untuk meraih jodoh? Yakinlah, bahwa apa yang Allah halalkan baik buat kita. Dan, apa yang Allah haramkan buruk buat kita. [Mh]