LIKE son like father. Lika daughter like mother. Kalau bapak ibunya kayak gitu, anak-anaknya juga akan ngikut.
Bayangkan jika kita tahu betul bahwa kamera CCTV di sekeliling kita. Apakah kita akan bertingkah ‘alami’? Apakah kita akan menunjukkan asli diri kita yang ala kadarnya?
Rasanya tidak. Kita akan bertingkah begitu profer. Sangat berhati-hati. Khawatir kalau nantinya kamera merekam keburukan kita.
Nah, begitu pula ketika kita berada di tengah anak-anak. Mereka bukan hanya merekam tingkah laku kita, tapi juga menjadikannya panduan.
Apa saja yang direkam dan ditiru anak-anak? Semuanya. Mulai dari gaya bicara, sifat bawaan, bahkan pada cara bagaimana menatap dan diam.
Sifat bawaan itu jarang diketahui banyak orang. Misalnya, pelit, pemarah, pemalas, gampang ngambek, julid, dan lainnya.
Biasanya, orang akan tampil prima di luar rumah. Seolah menjadi kebalikan dari sifat bawaan yang tertutup pencitraan.
Nah, tanpa kita sadari, yang kita ‘persilakan’ direkam dan diteladani oleh anak-anak adalah sifat bawaan kita. Bukan sifat mulia yang versi bagus saat di luar rumah.
Lalu, tiba-tiba ketika mereka mulai sekolah kita ajarkan sifat-sifat mulia. Saat itulah anak-anak akan mengalami konflik antara realita dan idealita.
Lalu, apakah kita harus juga pencitraan ketika di rumah? Rasanya nggak mungkin. Karena makna rumah adalah kita apa adanya.
Jadi? Yang mesti diubah bukan soal pencitraan di rumah atau di luar rumah. Tapi, memperbaiki sifat bawaan. Meskipun secara bertahap.
Dan itulah makna dakwah menurut para ulama. Yaitu, ‘Ashlih nafsaka, wad’u goiroka.’ Perbaiki dirimu, dan ajak orang lain.
Jadi, bukan kamera CCTV-nya yang harus ditutupi atau dimatikan, tapi tingkah kitanya yang harus berubah.
Dengan kata lain, jadilah diri Anda yang terbaik, apa adanya, dan begitu pula anak-anak akan meniru. [Mh]