PROSES perkenalan dalam tahap menuju pernikahan tidak selalu berjalan mulus, lika-liku mengenali calon pasangan pasti akan ditemui. Berapa banyak wanita gagal melanjutkan proses ta’aruf karena tidak adanya kepastian dari laki-laki atau bahkan diputus karena alasan yang menyakitkan.
Seorang wanita dalam Catatan Hati Seorang Gadis yang ditulis oleh Asma Nadia dkk berkisah bahwa dirinya pernah dijodohkan oleh temannya untuk melakukan proses ta’aruf dengan laki-laki yang dianggap baik.
Wanita tersebut sebelumnya juga telah beberapa kali menjalani proses ta’aruf. Sempat berhenti cukup lama, ia kembali mendapat tawaran ta’aruf.
Ia sempat berdoa, “Ya Allah, jika tiba waktunya, datangkanlah pendamping hidupku segera dan buatlah aku jatuh cinta saat pertama kali melihatnya.”
Baca Juga: Alasan Laki-Laki Insecure Saat Ta’aruf
Gagal Ta’aruf, Ketidakpastian dan Orang Ketiga
Di hari ketika ia bertemu dengan sang lelaki yang belum pernah ia lihat fotonya dan hanya sekedar tahu namanya. Tapi ketika mata tertuju, langsung bisa menembak bahwa dia pria itu.
Dia merasa bahwa doanya telah dikabulkan oleh Allah. Ia berdebar tak menentu, meski belum pernah bertamu. Perasaannya menjadi mantap.
Seminggu kemudian, sang lelaki mengirim pesan chat, ia merasa itu adalah sinyal bahwa lelaki itu ingin meneruskan proses ta’aruf.
Wanita tersebut tak menyangka bahwa ta’aruf yang ia jalani ini tanpa perantara. Namun ia sudah terlanjur merasakan keindahan saat chat dari lelaki itu kerap datang secara intens.
Akhirnya, perempuan itu memberanikan diri untuk menetapkan deadline ta’aruf, khawatir hubungan di antara mereka semakin tidak terkendali.
Sayangnya, lelaki itu justru menjawab, “Biarlah semua berjalan seperti air yang mengalir.”
Sang wanita sempat mempertanyakan di dalam batinnya, ‘Jika tidak ada deadline mau sampai kapan ta’aruf akan berlangsung?’
Cinta pada akhirnya membutakannya, ia menuruti kemauan lelaki itu untuk mengalir begitu saja. Ia juga sudah terlanjur berpikir positif karena lelaki yang sedang menjalani hubungan dengannya adalah aktivis dakwah.
Ia mengira bahwa hal tersebut secara otomatis melabeli laki-laki tersebut sebagai seseorang yang paham agama dan paham bagaimana ta’aruf yang benar.
Lagi-lagi, sang wanita tersadar bahwa hubungan mereka harus menemui kejelasan. Ia meminta perantara gurunya dan teman yang memperkenalkan dirinya dengan lelaki itu.
Namun, tidak ada respon yang pasti, lelaki tersebut justru berkata, “Kamu bilang apa ke guru ngajimu? Semalam dia chat aku. Aku tidak tahu harus jawab apa.”
Sang wanita semakin melongo dengan respon tersebut. Keraguan semakin kuat, bahwa laki-laki itu tidak memiliki keseriusan.
Keduanya juga sempat bertemu kembali namun masih tidak ada kejelasan. Sepanjang pembicaraan lelaki tersebut sama sekali tidak membicarakan niat baiknya untuk melangsungkan pernikahan.
Meskipun demikian, keduanya masih menikmati keindahan hubungan tidak jelas ini, meskipun wanita tersebut diliputi kebingungan.
Suatu pagi yang indah, sekitar jam lima. Tiga pesan masuk dari ponsen sang wanita. Hatinya langsung menari-nari. Namun begitu membaca isi pesan, mendadak dadanya terasa sesak.
Sang lelaki mengirim pesan panjang, tapi hanya sebaris yang terngiang di memori wanita malang itu.
“Mengingat ketidaksiapan saya menikah, mungkin lebih baik kita bersahabat saja,” demikian pesan yang menyakitkan itu tertera di ponselnya.
Singkat cerita, wanita itu menanyakan perihal apa yang terjadi antara dirinya dengan lelaki tersebut kepada temannya.
Temannya mengatakan, “Dia memutuskan ta’aruf bukan karena belum siap. Tapi karena dia juga sedang ta’aruf dengan akhwat lain.”
Kisah ini memberi kita pelajaran untuk meluruskan doa kita agar jatuh cinta hanya kepada seorang lelaki yang benar-benar menjadi suami. Dan agar kita mampu mengelola cinta dengan sebaik mungkin tanpa berlebihan.
*Cerita ini telah diringkas dari kisah aslinya.
[Ln]