BOLEHKAH membandingkan diri dengan orang lain dalam kebaikan atau fastabiqul khairat? Padahal, dalam ilmu parenting, kita tidak boleh membanding-bandingkan anak kita dengan anak orang lain.
Lalu, bagaimana dengan fastabiqul khairat, kita diajarkan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Berarti kita tetap saja membandingkan diri kita dengan orang lain dalam hal kebaikan.
“Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah: 148).
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kita sebagai hamba-Nya untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.
Motivator parenting dari Rumah Pintar Aisha, Randy Ariyanto W. menjelaskan bahwa ayat tersebut hendaknya dimaknai bukan saling membandingkan tetapi saling menginspirasi.
Jadi kita dianjurkan untuk senantiasa mencari inspirator yang memberikan inspirasi kepada kita untuk senantiasa berbuat kebaikan. Mencari inspirasi dalam rangka memperbaiki diri sendiri.
Kalaupun tetap menggunakan istilah membandingkan maka membandingkan diri kita dengan orang lain itu dalam rangka evaluasi dan perbaikan diri sendiri.
Kita bandingkan ibadah kita dengan orang lain, hafalan kita dengan orang lain atau sedekah kita dengan orang lain itu boleh dalam rangka memperbaiki diri dan memacu diri agar lebih semangat dalam meningkatkan amal kebaikan.
Baca Juga: Membandingkan Satu dengan yang Lain
Bolehkah Membandingkan Diri dengan Orang Lain dalam Kebaikan
Yang tidak boleh adalah membandingkan diri kita dengan orang lain lalu kita menjadi rendah diri, minder, merasa tidak mampu, merasa tidak bisa, merasa tidak berguna, itu yang tidak boleh.
Membandingkan untuk memotivasi diri agar bisa menjadi yang lebih baik lagi itu boleh, yang tidak boleh adalah saat kita membandingkan diri kita malah membuat diri kita rendah diri, minder dll.
Lalu khusus kepada anak. Kebanyakan orang tua atau mungkin hampir semua orang tua itu membandingkan kelebihan anak orang lain dengan kelemahan anak sendiri.
Padahal bakat anak kita berbeda dengan bakat anak orang lain. Ini tidak adil, karena kita membandingkan kelebihan orang lain dengan kelemahan anak sendiri.
Anak orang lain mungkin memiliki bakat jago hafalannya sedangkan anak kita bakat hafalannya kurang. Lalu kita banding-bandingkan anak kita dengan anak orang lain dalam hal hafalan. Maka ini tidaklah adil.
Coba cek, bisa jadi ternyata bakat anak kita sebagai calon ulama besar yang pandai berbicara di depan banyak orang, yang mampu mempengaruhi orang lain sehingga mereka sadar dan lebih mendekatkan diri pada agama Allah.
Ternyata bakat itulah yang lebih menonjol pada diri anak kita.
Atau bisa jadi anak kita pandai mencari uang. Kelak anak kita berkelimpahan harta sehingga dengan kekayaannya ia mampu mendirikan banyak rumah tahfiz dan mencetak banyak Hafizh Quran.
Insha Allah pahala setiap bacaan dari para Hafizh Quran itu akan mengalir sebagai amal jariah.
Ayah Bunda, semua pasti baik, menjadi Hafizh Quran baik, menjadi ulama baik, menjadi orang kaya yang dermawan juga baik.
Kenapa banyak pakar parenting yang melarang orang tua untuk membanding-bandingkan anak dengan anak orang lain.
Karena dikhawatirkan anak yang sering dibanding-bandingkan akan menjadi anak yang minder, penakut, pemalu, merasa rendah diri, merasa tidak punya harga diri, merasa tidak tidak mampu, tidak bisa.
Mereka merasa dirinya lemah, selalu kalah sedangkan orang lain pasti lebih hebat, lebih unggul dsb. Sebenarnya itu yang dikhawatirkan.
Jadi untuk anak tidak perlu dibandingkan cukup diberi pemahaman, dimotivasi, diarahkan, disupervisi, diberi penghargaan.
Insha Allah anak akan lebih bersemangat lagi dalam melakukan sesuatu. Jikalau harus membandingkan maka bandingkan ia dengan dirinya 1 tahun yang lalu.
Jika ada progress maka pujilah. Dulu kakak hafalannya baru sampai juz 30 sekarang sudah tambah 3, juz 29 juz 28 dan juz 27. Alhamdulillah Kakak hebat.
Begitulah Ayah Bunda semoga bermanfaat.[ind]