ZUHUD itu ketika hati tidak terikat dengan tarikan duniawi. Ketertarikannya hanya pada akhirat.
Di masa Kekhalifahan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ada seorang gubernur muslim yang begitu zuhud. Namanya Said bin Amir radhiyallahu ‘anhu.
Said ditugaskan Umar sebagai Gubernur Homs dan sekitarnya, sekarang sekitar wilayah Aleppo Suriah.
Sebenarnya Said bin Amir menolak habis tugas itu. “Jangan kau datangkan fitnah kepadaku, Wahai Amirul Mukminin!” ucap Said kepada Umar.
Umar bin Khaththab mengatakan, “Jangan kau biarkan aku memikul beban kekhalifahan ini sendirian!”
Akhirnya, Said bin Amir menerima tugas itu. Ia dan istrinya pun berangkat dengan perbekalan uang yang diberikan khalifah.
Sebagian kecil uang itu dibelanjakan istrinya untuk membeli baju ala kadarnya, untuknya dan suaminya. Sementara sisanya masih banyak.
Setibanya di wilayah Homs, Said bin Amir mengatakan kepada istrinya tentang uang itu. “Baiknya, uang itu dijadikan modal yang sangat menguntungkan. Kita titipkan saja ke orang di sini sebagai modal. Wilayah di sini begitu ramai dengan perdagangan. Gimana?” ucap Said ke istrinya.
Istrinya setuju. Ia pun mendapatkan jaminan dari suaminya jika di kemudian hari perdagangan itu malah menjadi rugi.
Pertanyaannya, kemana uang itu ‘diinvestasikan’ Said bin Amir? Ia menyedekahkan semua uang itu ke fakir miskin sampai habis.
Setelah tahu, istrinya akhirnya menyadari bahwa tidak ada investasi yang paling menguntungkan daripada bersedekah ke fakir miskin. Hal ini karena untungnya berlipat-lipat: dunia dan akhirat.
Suatu hari, Khalifah Umar sedang berada di wilayah Homs karena ada tugas di wilayah Syam dan sekitarnya. Tugas utamanya, membagikan uang negara kepada umat yang sangat membutuhkan di wilayah itu.
Umar meminta petugasnya untuk membuat daftar orang miskin di wilayah itu. Setelah diberikan ke Umar, daftar itu memuat nama seseorang yang ia kenal. Ya, Said bin Amir.
“Ini Said bin Amir yang juga gubernur kalian?” tanya Umar bin Khaththab.
“Ya, benar, Amirul Mukminin!” jawab sang petugas.
Khalifah Umar begitu takjub. Ia mengagumi konsistensi sahabat dekatnya itu. Saat itu, ia terlihat menangis karena haru.
“Berikan uang ini kepada beliau,” perintah Umar kepada petugas untuk disampaikan kepada Said bin Amir. Jumlah uang yang diberikan Umar sebesar seribu dinar, atau sekitar 8 miliar rupiah.
Ketika menerima uang itu, Said bin Amir langsung mengucapkan: inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.
Istrinya kaget mendengar itu. “Apa Amirul Mukminin meninggal dunia?” tanyanya kepada suaminya.
Said bin Amir menjawab, “Lebih berat lagi dari itu!”
“Apa tanda hari Kiamat sudah terlihat?” tanya istrinya lagi.
Said bin Amir menjawab lagi, “Lebih berat lagi dari itu.”
“Fitnah apa yang lebih berat dari itu, wahai suamiku?” tanya istrinya begitu bingung.
“Amirul Mukminin mendatangkanku fitnah dunia yang begitu berat! Aku takut tak sanggup memikul ini,” ucap Said bin Amir sambil menceritakan hadiah uang sebesar itu.
Saat itu juga, Said bin Amir memerintahkan bawahannya untuk mengumpulkan para fakir miskin, termasuk dari para tentara muslim yang sangat membutuhkan.
Setelah berkumpul, mereka diminta untuk berbaris. Dan satu per satu mereka menerima hadiah uang dari sang gubernur yang sedianya sebagai hadiah Amirul Mukminin untuk dirinya.
Said bin Amir mengatakan ke istrinya, Aku takut tak bisa bersama orang-orang mulia para sahabat Rasulullah yang telah mendahului aku menghadap Allah subhanahu wata’ala dengan mengorbankan darah dan nyawa mereka.
Said bin Amir wafat saat masih menjabat gubernur. Ia wafat di tahun ke-20 hijriah ketika masih dalam kekhalifahan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhuma.
**
Sikap zuhud itu bukan pertanda orang miskin. Sebaliknya, ia lebih kaya dari orang yang kaya. Sebegitu kayanya, ia tak lagi butuh ‘kilauan’ harta dunia. Ia hanya berharap dengan kekayaan yang disediakan Allah di akhirat esok. [Mh]