ADA kalanya kita mengklaim sangat mencintai Rasul dan para sahabat radhiyallahum ajma’in. Tapi di sisi lain, tidak ingin mengikuti cara hidup mereka.
Salah satu kelemahan umat Islam termasuk kita adalah ungkapan mencintai Rasul dan para sahabat, namun tidak mau mengikuti cara hidup mereka.
Seolah-olah ada kesenjangan antara yang mencintai dengan yang dicintai. Apakah karena kurang mengenal Rasul atau karena pernyataan cinta yang hanya sebatas retorika.
Perhatikanlah mereka yang mencintai idola secara umum. Ada yang cinta dengan pemain bola seperti Ronaldo. Sedemikian cintanya, hingga mereka berbusana dan berperilaku mengikuti Ronaldo.
Di tahun 80-an, pernah terjadi demam dengan tokoh aktivis luar negeri seperti Che Guevara. Sang tokoh biasa mengenakan topi khasnya plus rambut gondrong dengan mengenakan kaos.
Para penggemar di tanah air pun berperilaku sangat mirip dengan idolanya itu. Meskipun, mereka tidak begitu kenal dengan sosok aktivis berideologi marxis tersebut.
Lihat pula dengan para remaja putri. Ketika mereka begitu cinta dengan artis wanita berambut pirang, mereka pun ikutan mengecat rambut dengan warna pirang. Mereka tak peduli apakah cara itu pantas atau tidak dengan keadaan wajah mereka.
Kembali kepada mencintai Rasulullah dan para sahabat. Pertanyaan sederhana, apakah kita sudah mengubah cara hidup kita seperti yang dilakukan Rasul dan para sahabat?
Misalnya, Rasulullah begitu rendah hati, dekat dengan orang miskin dan anak yatim, hidup sederhana, tekun beribadah, dan sangat menyayangi keluarga.
Rasulullah berbusana dengan mengikuti kemudahan untuk beribadah. Misalnya tradisi busana gamis yang menurut Rasulullah karena lebih menutup aurat. Begitu pun dengan warna putih busananya.
Rumah Rasulullah sangat sederhana. Hal ini pula yang kemudian diteladani oleh para khulafaur rasyidin: Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali; saat menjabat sebagai kepala negara. Keempatnya tidak terpikir untuk membangun istana, meskipun hal itu lazim.
Tentu tentang busana dan tempat tinggal ini menunjukkan orientasi hidup yang lebih kepada maslahat akhirat, bukan semata-mata duniawi.
Begitu pun tentang apa yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang cara hidup. Bagaimana cara membangun keluarga, berkiprah di masyarakat, mendayagunakan harta untuk dakwah, dan lainnya.
Suatu kali Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu memegang tangan Nabi seraya mengatakan, “Ya Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala-galanya selain diriku sendiri.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun meluruskan, “Tidak, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.”
Umar bin Khaththab pun mengatakan, “Sekarang demi Allah, Engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” (HR. Bukhari)
Ungkapan cinta Umar kepada Rasulullah terbukti bukan basa basi. Ia begitu meneladani Rasulullah di segala hal yang bisa ia lakukan.
Ketika Umar mendapat kabar bahwa Rasulullah telah wafat, ia seperti tak mau menerima. Umar pun marah kepada siapa pun yang mengatakan bahwa Rasulullah sudah wafat.
Kecuali Abu Bakar Ash-Shiddiq yang akhirnya menasihati Umar. “Siapa yang beribadah kepada nabi Muhammad, ketauhilah bahwa nabi Muhammad sudah wafat. Dan siapa yang beribadah kepada Allah, ketahuilah bahwa Allah selalu hidup.”
Tentu, banyak cara untuk mengungkapkan rasa cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Antara lain dengan meneladaninya semampu yang kita bisa. [Mh]