UJIAN ayah ibu bisa datang dari dalam keluarga itu sendiri. Antara lain dari anak sendiri.
Pada era tahun 70-an, dunia Islam dihadiahkan seorang Qari terbaik. Suaranya begitu merdu. Ilmu Al-Qur’annya begitu mumpuni.
Beliau adalah Syaikh Mahmud Khalil Al-Husori. Keilmuan Qur’annya melekat dengan Universitas Islam tertua di dunia: Al-Azhar, Mesir.
Beliau lahir di sebuah kota kecil di sebelah utara Kairo, Mesir pada tahun 1917. Sejak kecil, Syaikh Mahmud sudah begitu terdidik dengan ilmu Al-Qur’an. Terlebih lagi setelah beliau menamatkan pendidikan di Al-Azhar.
Nama beliau begitu melambung seiring dengan lantunan tilawahnya yang mendunia. Bahkan pada tahun 1976, pemerintah Inggris memberikannya sebuah penghargaan dalam bidang keislaman.
Suara beiau kerap menghiasi radio-radio di Mesir, bahkan dunia termasuk di Indonesia. Bacaan murattalnya begitu khas, indah, dan menyejukkan.
Di Indonesia, suara beliau bukan sekadar dikenal melalui bacaan murattal. Melainkan juga dari shalawat Tarhim yang kerap diperdengarkan masjid-masjid di seluruh Indonesia sebelum azan Subuh berkumandang.
Namun, di balik kemasyhuran itu, Syaikh Al-Husori diuji Allah dengan hal yang sangat sensitif. Yaitu, ujian yang berasal dari sosok putrinya yang bernama Ifrag Al-Husori.
Sebenarnya, sejak kecil Ifrag sudah dididik dengan ilmu Al-Qur’an oleh sang ayah. Tidak heran jika sejak kecil wanita bersuara ‘emas’ ini juga sudah hafal Qur’an.
Ia ingin sekali kuliah di kampus umum di Mesir. Tapi, ayahnya lebih mengedepankan sisi akademis keislaman agar putrinya memiliki bekal agama yang memadai.
Setelah lulus sekolah menengah atas, Ifrag menikah. Setelah itu, ia memiliki jalan sendiri yang tidak lagi melalui jalur sang ayah, melainkan dari ‘rute’ suaminya.
Ia pun mendapatkan izin dari suaminya untuk kuliah. Setelah lulus, ia juga mendapat izin dari suaminya untuk bekerja di Parlemen Mesir. Dari situlah, Ifrag berkenalan dengan tokoh-tokoh nasional.
Salah satu tokoh adalah putri Presiden Mesir Anwar Sadat, yaitu Jihan Sadat. Tanpa sengaja, Jihan begitu terpesona dengan suara ‘emas’ Ifrag ketika membawakan sebuah lagu di acara internal kantor.
Melalui Jihanlah, Ifrag dibukakan pintu karir yang kelak menjadi ujian berat untuk sang ayah. Ia ditawarkan ikut konser dalam rangka memperingati sosok vokalis legend wanita Mesir: Ummu Kulsum.
Awalnya, Ifrag hanya menyanyikan lagu-lagu nasyid dan lagu patriotisme perjuangan. Tapi, gelora seninya menggiringnya masuk ke dunia lagu pop yang tengah berkembang saat itu.
Memang, ia sempat berkonsultasi ke sang ayah. Ayahnya langsung mencegahnya masuk ke dunia itu. Ia pun berkonsultasi ke Syaikhul Al-Azhar tentang hukum boleh atau tidaknya seorang muslimah bernyanyi di publik.
Ada arahan yang jelas dari ulama itu. Antara lain, tidak boleh membuka aurat, tidak boleh bersuara yang tidak patut, dan seterusnya. Intinya, boleh tapi dengan banyak catatan. Sayangnya, Ifrag lebih memilih bolehnya daripada catatan atau syarat-syaratnya.
Sedemikian keras pertentangan yang dilakukan sang ayah ke putrinya itu, hingga Presiden Anwar Sadat ikut turun tangan. Dan jalan tengahnya justru seperti menggerogoti hati Syaikh Mahmud Al-Husori. Yaitu, karena Ifrag sudah punya suami, maka arahan dari suamilah yang harus diikuti, bukan dari ayahnya.
Untuk popularitas, Ifrag mengganti namanya menjadi nama yang ‘menjual’, yaitu Yasmin Al-Khayyam. Dan pada era 70-an, sosoknya begitu populer menghias televisi Mesir. Begitu pun suaranya yang kerap mengalun merdu di radio-radio Mesir, bahkan dunia.
Bayangkan, di pagi hari, umat diperdengarkan dengan suara tilawah Syaikh Al-Husori, tapi pada sore harinya di’rusak’ dengan lantunan lagu pop oleh putrinya sendiri.
Masalahnya bukan sekadar bernyanyinya, tapi penampilan Ifrag pun tanpa mengenakan jilbab, alias terbuka. Meskipun, norma di Mesir saat itu masih sopan dengan busana panjang.
Hingga kini, Media Youtube masih menyimpan jejak kepopuleran suara ‘emas’ Yasmin Al-Khayyam dengan iringan irama gambus.
Di penghujung tahun 70-an, jadilah masa-masa berat yang dirasakan Syaikh Al-Husori. Ia merasakan hal itu sebagai ujian yang luar biasa. Ia pun sakit, hingga di akhir hayatnya pada tahun 1980.
Sebenarnya, ada ulama Qur’an Al-Azhar yang begitu sabar menasihati Ifrag untuk kembali ke didikan sang ayah. Beliau adalah Syaikh As-Sya’rawi.
Akhirnya, selepas kematian sang ayah, Ifrag menyadari kekeliruan besarnya. Ia pun menekuni apa yang diarahkan Sya’rawi untuk kembali ke ‘jalan yang benar’.
Sejak kematian sang ayah, Ifrag tak lagi tampil di publik. Ia pun menyudahi karirnya. Sosoknya tak lagi ‘terbuka’ tanpa jilbab. Kemana pun yang disaksikan publik, ia selalu mengenakan jilbab, bahkan akhirnya bercadar.
Untuk menebus kesalahannya, Ifrag mendirikan yayasan amal yang diberi nama Yayasan Al-Husori. Yayasan amal tersebut menyantuni yatim dan dhuafa. Ribuan anak telah disantuni secara rutin.
**
Semakin tinggi ‘derajat’ seseorang, semakin berat ujiannya. Istiqamah dan kesabaranlah yang membentenginya dari hal luar biasa itu.
Semoga Allah subhanahu wata’ala melindungi kita dari ujian berat itu. Dan menganugerahkan kita semua istiqamah dan kesabaran dalam menghadapinya. [Mh]





