SELALU ada wanita mulia di balik tokoh besar. Boleh jadi, ia bukan ibu, istri, saudara, dan anak. Tapi, ‘hanya’ pelayan.
Ada sosok wanita mulia di balik kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Wanita ini sudah melayani Nabi sebelum beliau lahir, masa anak, remaja, menikah, menjadi Nabi, di saat jihad, bahkan hingga wafatnya.
Wanita mulia ini bernama Barakah binti Tsa’labah atau biasa dipanggil Ummu Aiman radhiyallahu ‘anhuma. Bisa dibilang, beliaulah manusia yang paling kenal dengan sosok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Awalnya, Ummu Aiman adalah seorang pelayan atau budak yang memang disiapkan untuk melayani ibu Nabi, Aminah binti Wahab, yang sedang hamil. Begitu pun ketika Nabi lahir, Ummu Aiman terus mendampingi dan melayani Rasulullah.
Jadi, Ummu Aiman selalu bersama kehidupan Nabi sejak bayi, anak-anak, remaja, pemuda, menikah, menjadi Rasul, hijrah, jihad, hingga wafatnya. Rasulullah meninggal lebih dahulu dari Ummu Aiman. Ummu Aiman wafat di masa Kekhalifahan Usman bin Affan.
Sebenarnya, Rasulullah sudah memerdekakan Ummu Aiman ketika beliau menikah dengan Khadijah. Tapi cintanya dengan Nabi seperti magnit yang menjadikan dirinya tak mau jauh dengan Rasulullah.
Ketika sudah merdeka, Ummu Aiman juga menikah dengan pemuda bernama Ubaid bin Zaid. Dari pernikahan ini, lahirlah Aiman radhiyallahu ‘anhu dan anak ini ikut berjuang bersama Nabi. Tapi tak lama Aiman lahir, suaminya meninggal dunia.
Ketika Islam datang, Ummu Aiman juga tergolong orang pertama yang masuk Islam. Begitu pun ketika perintah hijrah datang, Ummu Aiman pula yang pertama berangkat hijrah ke Madinah, meskipun dengan berjalan kaki.
Ummu Aiman juga ikut menemani Nabi berjihad di Perang Uhud dan Khaibar. Posisinya di barisan belakang untuk mengurus tentara yang terluka, urusan dapur, dan lainnya. Tapi jika terpaksa, Ummu Aiman juga siap di barisan depan sebagai pemanah wanita.
Hubungannya dengan Nabi sudah seperti ibu dan anak. Sangat dekat. “Ia adalah keluargaku yang masih tersisa. Ia sudah seperti ibuku sendiri sepeninggal ibuku,” ungkap Rasulullah suatu kali.
Tidak heran jika Nabi suka bercanda dengan Ummu Aiman. “Ya Rasulullah, aku ingin ikut denganmu,” ucap Ummu Aiman ketika suatu kali Nabi hendak berangkat ke suatu tempat.
“Boleh saja. Tapi, Ummu Aiman akan naik anak unta,” ucap Nabi.
Ummu Aiman tersinggung ketika Nabi menyebut anak unta. “Mana kuat anak unta membawaku. Aku ingin naik unta dewasa,” sergah Ummu Aiman.
Padahal maksud Nabi, semua unta adalah pasti juga anak unta. Meskipun unta itu sudah dewasa. Inilah bentuk candaan Nabi yang tetap bernilai benar, tidak berbohong.
Di lain kesempatan, Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah terkejut ketika tiba-tiba Ummu Aiman seperti latah ingin ikut minum ketika Nabi sedang minum. “Aku juga ingin minum,” ucapnya ketika melihat Nabi minum.
Aisyah menegur Ummu Aiman. “Itu tidak sopan terhadap Nabi,” ucap Aisyah.
Tapi Nabi langsung memberikan minum untuk Ummu Aiman.
Suatu kali ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sudah wafat, Ummu Aiman dikunjungi Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma. Keduanya ingin menghidupkan sunnah Nabi yaitu selalu mengunjungi Ummu Aiman.
Tapi, keduanya mendapati Ummu Aiman sedang menangis di rumahnya. Abu Bakar dan Umar menasihati Ummu Aiman bahwa hal itu tak patut karena Nabi sudah hidup bahagia di alam barzakh.
Ummu Aiman mengatakan, “Aku menangis bukan karena itu. Aku menangis karena dengan wafatnya Nabi, wahyu dari Allah sudah putus.”
Mendengar jawaban itu, Abu Bakar dan Umar pun ikutan menangis.
**
Jangan pernah menyepelekan peran seseorang hanya karena latar belakang atau tugasnya yang sederhana. Boleh jadi, di sisi Allah, perannya jauh lebih besar dari yang lain. [Mh]