PEMIMPIN itu harus kuat. Terutama mentalitas, fisik, dan ilmunya.
Pasca wafatnya Nabi Musa dan Harun alaihimassalam, kaum Bani Israel mengalami masa suram. Mereka berpecah belah, materialis, lemah, terutama keimanannya.
Sebenarnya, mereka sudah tidak tahan dengan penjajahan yang dilakukan oleh Raja zalim yang bernama Jalut. Tapi, mereka tidak tahu harus berbuat apa.
Para pembesar Bani Israel atau para oligarki akhirnya menemui seorang tokoh agama mereka. Mereka mengatakan, mintalah kepada Tuhan agar diturunkan seorang Nabi yang bisa memimpin kami untuk melawan Jalut.
Tokoh agama itu paham sekali dengan karakter para pembesar yang datang itu. “Jangan-jangan ketika Nabi itu sudah ada, kalian tidak mau berperang,” ucapnya.
Mereka membantah itu. Mereka mengatakan akan siap melakukan apa pun termasuk berperang melawan Jalut. Asalkan bersama Nabi itu.
Setelah berselang waktu, tokoh agama itu mengumumkan bahwa Allah sudah menganugerahkan Bani Israil seorang Nabi. Namanya Thalut.
Ketika mendengar nama Thalut, mereka saling berpandangan. ‘Thalut? Bukankah dia seorang buruh kasar yang miskin?” begitu kira-kira reaksi mereka.
Mereka sebenarnya menginginkan agar Allah membangkitkan Nabi dari kalangan mereka sendiri: kaya dan terpandang. Bukan buruh miskin yang tidak jelas status sosialnya.
Akhirnya tokoh agama itu menjelaskan dengan kalimat pamungkas. “Ia akan menjadi pemimpin kalian bersamaan dengan datangnya Tabut!” Tabut adalah sebuah peti peninggalan Nabi Musa yang dibawakan oleh malaikat untuk Thalut.
Selama ini, Tabut mereka tak berada di ‘tangan’ mereka. Hilang entah kemana. Dengan kembalinya Tabut, ada kepercayaan baru yang mereka harapkan dari sosok Thalut.
Thalut pun dilantik menjadi raja Bani Israil. Allah menganugerahkan Thalut sebuah kelebihan yang tidak dimiliki Bani Israil saat itu, yaitu kapasitas istimewa dalam hal ilmu dan fisik. Orangnya alim, cerdas, dan kuat.
Thalut pun mengajak mereka berperang melawan Jalut. Sebagian ada yang mau ikut, sebagian lagi mundur.
“Kami tak sanggup melawan Jalut,” begitu ucapan mereka secara terus terang kepada Thalut. Sebuah sikap yang pernah diprediksi akan terjadi.
Sebagian dari pasukan itu ada yang mundur, dan sebagian lagi tetap bersemangat malawan Jalut. Meskipun jumlah mereka sedikit dari sebelumnya. Di antara anggota pasukan itu adalah seorang pemuda yang bernama Daud alaihissalam.
Tak seorang pun di antara pasukan itu yang mengira kalau Daudlah yang mampu mengalahkan Jalut.
Setelah Jalut berhasil dikalahkan, Thalut menikahkan Daud dengan putrinya. Dan akhirnya, Daud mewarisi kerajaan Bani Israil, yang di kemudian hari berlanjut ke putranya: Nabi Sulaiman alaihissalam.
**
Tidak sedikit negeri muslim yang kehilangan sosok pemimpinnya. Karena ketiadaan pemimpin, mereka berkubang dalam kehinaan meskipun mereka berlimpah kekayaan.
Sayangnya, logika pencarian pemimpin selalu berkutat pada paradigma materialistis. Pemimpin mereka harus kaya.
Padahal, bukan itu yang menjadi kapasitas utama seorang pemimpin yang hebat. Pemimpin itu harus kuat. Kuat imannya, fisiknya, wawasan ilmunya, dan tentu saja mentalitasnya.
Boleh jadi, mereka tidak mau memilih pemimpin seperti itu karena memiliki pemikiran yang sama dengan kaum oligarki Bani Israil saat itu. Karena sosok yang di luar oligarki mereka akan sulit mereka kendalikan.
Mereka ingin punya pemimpin yang hebat, tapi pemimpin yang tetap bisa mereka kendalikan, demi kepentingan bisnis dan lainnya. [Mh]





