ChanelMuslim.com – Niat itu perkara batin, tidak terlihat. Tidak terdengar. Dan, tidak terbaca melalui pikiran. Tapi, ia begitu menentukan. Dan dengan niat itulah Allah subhanahu wata’ala menilai kita.
Semua amal bergantung pada niat. Hal itu sudah dipahami jelas. Tapi ketika amal sedang dilakoni, boleh jadi, soal ini pula yang pertama kali dilupakan.
Baca Juga: Hukum Mengubah Niat saat Shalat
Niat Itu Memang Tidak Terlihat
Seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengalami itu. Ia ditugaskan untuk menyampaikan maklumat kepada masyarakat Mekah untuk pertama kali setelah kota itu masuk dalam kekuasaan Nabi.
Ia memang orator ulung. Vokalnya begitu lantang. Suaranya bukan hanya terdengar jelas. Tapi seperti memiliki kekuatan wibawa yang dahsyat. Semua warga Mekah yang mendengar itu begitu terkesima. Bukan hanya dengan isi pesan. Tapi juga karena sosok yang menyampaikan.
Entah apa yang membisikkan sahabat ternama itu saat ia tampil di panggung. Seusai penyampaian maklumat itu, ia pun berbisik kepada salah seorang sahabat lain senior.
“Apa yang tadi saya sampaikan, apakah menurutmu ada yang kurang?” ujarnya.
Sahabat senior itu pun spontan berucap pelan, “Yang kurang justru pertanyaanmu ini.”
Sahabat senior itu mengingatkan bahwa sahabat yang bertanya itu tersusupi pergeseran niat. Di balik ungkapan tanya itu, sepertinya si penanya ingin mendapatkan pujian. Ia seolah ingin ada orang bijak menjawab, “Kamu memang hebat!”
Bayangkan kita melakukan amal tertentu. Sebuah amal yang menjadi sorotan banyak orang. Mungkin saat sedang berceramah. Mungkin saat sedang berdonasi dengan jumlah besar. Mungkin saat bertilawah dengan tingkat kemampuan yang tinggi. Mungkin saat sedang menolong seseorang yang orang-orang lain tak tergerak menolong.
Pendek kata, amal itu begitu hebat untuk ukuran kita. Dan kita pun yakin bahwa orang-orang lain yang melihatnya juga menilai sama hebatnya. Saat itulah, ada penggiringan batin, entah dari mana, agar kita merasa bangga dengan diri sendiri.
“Ah, kamu memang hebat. Rasanya, tak ada yang lebih hebat dari dirimu saat ini. Mantap!” bisikan itu terus mengisi seluruh rongga hati kita.
Dalam episod yang lain. Saat tak ada orang lain yang menyaksikan amal kita. Saat kita yakin bahwa kita hanya berdua dengan Allah subhanahau wata’ala. Amal yang kita lakukan saat itu begitu sempurna. Boleh jadi amal itu bernama shalat malam. Atau, doa khusus untuk seseorang. Atau, zikir panjang di malam yang hening.
Dalam kelengahan kita, tiba-tiba ada bisikan halus datang. Ia memuji kita setinggi langit. Membanding-bandingkan dalam imajinasi hati dengan orang-orang lain yang kita anggap di bawah rata-rata. Hasil perbandingan itu pun berujar, “Ah, betapa hebatnya kamu. Tak ada orang sesholeh kamu saat ini. Kamu memang hamba Allah yang hebat!”
Bisikan itu terus mengiang. Akhirnya, menginstal alam bawah sadar kita. “Ah, kamu memang hebat!” Hingga di suatu kesempatan, saat ada orang lain dalam kehidupan kita. Kita pun ingin menyampaikan bisikan pujian itu. Tapi, dalam tata bahasa yang anggun untuk ukuran orang soleh.
“Rasanya ngantuk banget ya,” ujar kita menunjukkan kealamiahan ekspresi. Kita pun menunggu reaksi seseorang itu untuk mengucapkan sesuatu.
“Memangnya semalam kamu tidak tidur?” ucap seseorang itu, persis seperti yang kita harapkan.
“Iya. Alhamdulillah semalam bisa shalat qiyamul lail cukup lama,” ucap kita penuh kelengahan hati.
Itulah dunia niat kita. Awalnya begitu tulus karena Allah. Karena Dzat Yang tidak terlihat. Karena Dzat Yang tidak langsung mengucapkan pujian. Karena bisikan halus itu, kemudian bergeser menjadi begitu rendah.
Jika bisikan halus itu kita layani dengan baik. Kita sediakan karpet merah agar bisa terus mondar-mandir dalam dunia senyap kita. Dan terus berlangsung dalam kurun waktu begitu lama. Berulang, dan terus berulang.
Jangan heran. Jangan menyesal. Karena suatu saat, kita tidak mendapati dari amal hebat kita kecuali rayap yang telah menggerogoti bangunan indah amal kita. Dari luar begitu mempesona. Tapi dalamnya hanya sebuah kerapuhan.
Niat memang dunia batin. Tak bisa dilihat. Tak bisa didengar. Tak bisa dikira-kira. Tapi, ia hanya bisa tetap bernilai jika dikawal hanya untuk Allah Ta’ala. (Mh)