FATHERLESS artinya tidak punya ayah. Dalam arti sesungguhnya, atau dalam kiasan.
Ayah adalah arah untuk seorang anak. Arah kemana mereka akan tumbuh, dan arah kemana mereka akan melangkah di usia dewasanya.
Fenomena generasi ‘fatherless’ adalah mereka yang tumbuh dan berkembang tanpa arah dari seorang ayah. Mungkin dalam arti sebenarnya seperti ditinggal mati, ditinggal pergi, dan lainnya.
Ada juga fatherless yang tidak dalam arti sebenarnya. Ayahnya masih hidup dan hadir dalam tumbuh kembang sang anak. Tapi, sosok ayah tidak memberikan fungsi sebagai ayah yang sebenarnya.
Banyak sebab yang memungkinkan hal ini terjadi. Bisa karena kesenjangan komunikasi, bisa juga karena sosok sang ayah tidak patut untuk ditiru dan didengar kata-katanya.
Kesenjangan komunikasi muncul karena kesenjangan lingkungan generasi. Apa yang ada di pikiran sang ayah sudah tidak lagi relevan untuk dijadikan panduan oleh sang anak.
Sudah terjadi gap itu, terjadi pula kesenjangan arah komunikasi. Ayah dan anak tak lagi bisa berkomunikasi dua arah. Akibatnya, anak tumbuh seperti tanpa arah.
‘Fatherless’ juga menunjukkan tidak adanya ketegasan tentang baik buruk di mata anak. Dalam hal ini, ‘fatherless’ tidak berarti melulu tentang sosok ayah. Karena seorang ibu pun bisa mengambil alih kekosongan ‘fatherless’ untuk putera-puterinya.
Lalu pertanyaannya, bagaimana anak menapaki jalan hidupnya jika tanpa arah yang jelas? Jawabannya sederhana: lingkungan pergaulan anak.
Jika lingkungan pergaulannya positif, beruntunglah sang anak. Ia akan mendapatkan arah yang baik, meskipun tidak ada campur tangan sang ayah.
Tapi jika buruk, dan ini yang umumnya terjadi, anak akan tumbuh dewasa melalui rute yang try and error atau coba-coba. Karena ia hanya melihat bungkus saja, tanpa isi. Padahal tidak semua bungkus yang bagus berisikan pelajaran yang baik.
Bagaimana dengan dunia pendidikan seperti sekolah? Inilah masalahnya. Di era yang serba mengejar materi, sekolah menjadi wadah yang hanya memberikan muatan kompetensi, tanpa bobot karakter yang memadai.
Sekolah atau kampus bisa saja menjadikan seseorang mampu menjadi sesuatu. Tapi belum tentu memiliki nilai yang mumpuni. Terutama dalam hal etika hidup.
Jangan heran jika banyak orang yang bergelar sederet titel pendidikan, tapi tak memiliki etika yang memadai. Umumnya koruptor bukan dari yang bertitel sarjana rendahan. Bahkan, kebanyakan dari koruptor adalah mereka yang mestinya jadi panutan orang banyak.
Jika kita seorang ayah ibu, evaluasi lagi apakah sosok kita bisa dianggap sebagai arah oleh anak-anak kita. Dan jika kita sendiri yang sebagai subjek ‘fatherless’, jangan biarkan hal ini terus bergulir.
Secara elementer, sosok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu bisa menjadi frame arah yang ideal. Silakan gali dan gali lagi pelajaran dari sunnah hidup beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Selebihnya, kita mesti rajin bersilaturahim dengan tokoh-tokoh yang patut diteladani. Berdiskusilah dengan mereka, dan galilah hikmah kehidupan. [Mh]