ChanelMuslim.com- Tak terasa putaran awal tahun sudah dimulai lagi. Seribu satu momentum dan kenangan berlalu terbawa arus waktu. Dan kini, momentum baru tengah menanti untuk diperjuangkan.
Satu Muharam bukan sekadar tahun baru. Bukan pula sekadar putaran waktu yang berdurasi dua belas bulan. Lebih dari itu. Satu Muharam menjadi momen kontemplasi dan evaluasi: seberapa besar nilai hijrah yang telah diraih.
Ketika Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu memutuskan awal tahun dengan momen hijrah, ada pesan penting yang seolah ingin disampaikan. Putaran waktu harus dimulai dari momen gerakan besar umat.
Momen gerakan umat paling besar dalam sudut pandang Umar adalah hijrah. Bukan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bukan juga awal kerasulannya. Bukan perang Badar, Uhud, Hunain, atau Tabuk. Bukan pula Fathul Mekah.
Meski momen-momen itu memiliki bobot luar biasa, tapi hijrah memang nyaris tiada duanya. Khalifah kedua umat Islam ini menangkap bahwa hijrah bukan sekadar perpindahan kaum Muhajirin ke Madinah. Walaupun hal itu bukan momen yang tergolong biasa saja.
Umar dan para sahabat radhiyallahum ajmai’in seperti menangkap sinyal yang Allah ajarkan melalui turunnya wahyu dan dua klaster dakwah Rasul.
Al-Quran mulia yang Allah turunkan terpisah menjadi dua pokok bahasan besar. Satu yang turun sebelum momen hijrah, biasa disebut ayat-ayat Makiyah. Satunya lagi turun sesudah hijrah yang biasa disebut ayat-ayat Madaniyah.
Makiyah dan Madaniyah sama sekali bukan merujuk lokasi turunnya ayat. Melainkan karena momentum hijrah. Beberapa ayat yang turun di Mekah tetap disebut Madaniyah karena turunnya sesudah hijrah.
Hijrah juga sebagai titik tolak gerakan baru dakwah. Baru bukan karena koreksi dari model yang lama. Tapi, sebagai tangga berikutnya dari wajah dakwah Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Hijrah seperti mengubah paradigma umat saat itu. Dari mengubah menjadi membangun. Dari mengingatkan menjadi memimpin. Dari menghimbau menjadi menegaskan. Dari cakupan lokal menjadi mendunia. Dan dari wilayah angan-angan menjadi kenyataan.
Kini, zaman berganti. Generasi pun mengalami pasang surut. Sebagiannya lagi terhempas dalam pukulan musuh atau tergilas putaran zaman.
Umat pun tak lagi mampu memandang horizon dakwah sebagaimana Umar bin Khaththab dan para sahabat memandangnya saat itu.
Karena saat ini, umat seperti bukan berada pasca hijrah. Melainkan merosot jauh dalam dakwah Makiyah. Benar-benar tak berdaya.
Bahkan lebih tak berdaya dibandingkan saat para sahabat di masa yang sama. Karena saat itu, para sahabat memiliki satu komando yang satu dari Rasulullah teladan umat. Sementara saat ini, umat seperti bukan apa-apa. Tapi juga bukan siapa-siapa.
Semua kembali ke masing-masing individu. Kembali ke diri kita sendiri. Bahwa momen hijrah bukan berarti mencari wilayah singgah baru yang entah di mana. Tapi meningkatkan mutu diri dan jamaah agar memang pantas sebagai generasi yang lahir pasca hijrah. [Mh]