RAMADAN memberikan banyak hikmah. Antara lain melatih kita dalam sabar dan syukur. Satu bulan bisa menjadi bekal untuk sebelas bulan.
Sabar adalah istiqamah meski dalam keadaan susah. Dan syukur adalah istiqamah meski dalam suasana senang.
Rentang suasana susah dan senang dalam bulan Ramadan tidak begitu jauh. Hanya dipisah oleh hitungan jam.
Pada siang hingga menjelang sore, ada suasana susah yang melatih sabar kita. Pada saat berbuka hingga malam, ada suasana senang yang melatih syukur kita.
Suasana susah dan senangnya bersifat universal untuk semua muslim. Siapa pun, yang kaya atau miskin, tua atau muda, pejabat atau rakyat biasa; mengalami hal yang sama.
Tidak boleh makan dan minum, meskipun tersedia banyak makanan dan minuman. Justru, semakin banyak persediaan makanan dan minuman, semakin berat susahnya. Karena ujian sabarnya semakin terasa ekstrim.
Makanan dan minuman terlihat, bisa dijamah, sudah dikuasai; tapi tak bisa dinikmati. Begitu pun dengan kenikmatan lainnya yang juga harus diisolasi untuk sementara waktu.
Dan ketika waktu berbuka tiba, tidak lantas semua yang halal itu bisa dinikmati semaunya. Di situlah ujian syukurnya. Bagaimana agar bisa tetap istiqamah dengan tidak berlebihan meskipun sudah ‘lampu hijau’.
Dalam dunia nyata di bulan-bulan lainnya, bekal latihan sabar dan syukur ini begitu memiliki pengaruh yang kuat.
Rentang ujian sabar dan syukurnya tidak lagi dalam bilangan jam, tapi dalam satu rentang usia kehidupan.
Ada masa di mana Allah menguji kita dengan susahnya kehidupan. Dengan bekal di bulan Ramadan, diharapkan susahnya kehidupan itu tidak mengurangi istiqamah kita.
Dan ada masa di mana Allah menguji kita dengan senangnya kehidupan. Dengan bekal di bulan Ramadan, diharapkan senangnya kehidupan itu tidak melalaikan istiqamah kita.
Kalau ditanya, lebih berat mana antara ujian sabar dan ujian syukur? Tentu masing-masing punya bobot yang relatif berbeda untuk setiap orang.
Ada yang bisa bertahan dengan ujian susah, tapi tidak kuat dengan ujian senang. Begitu pun sebaliknya, yang bisa tahan dengan ujian senang, tapi tak berdaya dengan ujian susah.
Dan Allah subhanahu wata’ala tidak akan membebani hamba-Nya kecuali dalam jangkauan kesanggupannya. Yang penting ditopang penuh oleh kekuatan dasar imannya.
Sejenak saja sikap sabar dan syukur lepas dalam orbit hidup kita, itu sudah kerugian besar buat seorang hamba Allah. Karena hilangnya istiqamah, baik di masa susah atau senang, bisa membahayakan nilai akhir usia kita.
Karena tak seorang pun yang tahu, kapan ia akan berpisah dengan kehidupan dunia. Semoga akhir itu tidak datang di saat istiqamah sedang berkurang.
Betapa beruntungya bisa merasakan lagi bulan Ramadan. Bulan di mana kekuatan strum syukur dan sabar kembali di-chas ulang. [Mh]