PEKA itu ketika hati bergetar untuk melakukan yang terbaik untuk orang lain. Kepekaan menandakan hati hidup.
Ada seorang sahabat Nabi yang sejak kecil sudah terlatih kepekaannya. Sahabat mulia itu bernama Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Usianya masih belia ketika hidup bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, usia Abdullah bin Abbas atau Ibnu Abbas sepuluh tahun ketika Nabi wafat.
Dengan kata lain, interaksinya bersama Nabi di saat beliau berusia di bawah sepuluh tahun.
Hubungannya dengan Nabi begitu dekat. Ayahnya adalah paman Nabi, yaitu Abbas bin Abdul Muthalib. Sementara ibunya, Lubabah binti Al-Harits adalah saudara kandung istri Rasulullah yang bernama Maimunah binti Al-Harits.
Jadi, ketika Rasulullah sedang berada di rumah Maimunah, Ibnu Abbas berada di rumah tersebut untuk senantiasa belajar dan melayani Nabi.
Suatu kali, saat berada di rumah Maimunah, Rasulullah terkejut saat keluar toilet. Rasulullah mendapati sebuah ember yang berisi air untuk ia gunakan.
Rasulullah bertanya, “Siapa yang meletakkan ember dan air di sini?” Dijawab, “Ibnu Abbas.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakannya: Ya Allah anugerahkanlah ia kepahaman tentang agama.
Bayangkan, bocah di bawah sepuluh tahun sudah punya kepekaan sedemikian tinggi. Ia melakukan itu dengan inisiatif pribadi, bukan karena disuruh siapa pun. Demi ingin melayani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Pernah suatu kali, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang shalat malam sendirian. Ibnu Abbas bergabung dalam posisi di belakang Nabi.
Menyadari kehadiran Ibnu Abbas di belakangnya, Nabi menggerakkan tangannya untuk meraih tubuh Ibnu Abbas dan memposisikan berdirinya di samping Nabi.
Ibnu Abbas mengatakan, “Ya Rasulullah, apa pantas seseorang berdiri shalat sejajar dengan Anda?” Ini sebuah kalimat penghormatan bahwa ia adalah orang biasa dan yang mengimaminya adalah seorang yang sangat mulia, Rasulullah.
Lagi-lagi, ungkapan mulia ini rasanya lebih pantas dilakukan oleh mereka yang sudah dewasa, yang memiliki pemahaman agama yang mumpuni. Bukan seorang bocah di bawah sepuluh tahun.
**
Orang yang berilmu itu mungkin banyak. Tapi, orang berilmu yang memiliki kepekaan tinggi, bisa dibilang sedikit.
Jangan hanya bimbing anak-anak kita untuk tekun menuntut ilmu. Tapi bimbing juga bagaimana mengasah ketajaman kepekaan hati. [Mh]