KEHILANGAN adalah milik seseorang yang dari ada menjadi tidak ada. Atau dari banyak menjadi sedikit. Tapi, ada kehilangan besar yang tak dirasakan.
Manusia memang tempatnya lalai dan lupa. Begitulah kita. Jika dalam hal materi kita peka dengan kehilangan. Tapi dalam yang bukan materi, kehilangan tak begitu dirasakan.
Dalam keluarga, kadang ada kehilangan yang tak dirasakan. Yaitu, berkurang atau hilangnya kasih sayang. Bisa suami terhadap istri atau sebaliknya, bisa juga orang tua terhadap anak atau sebaliknya.
Hilangnya kasih sayang menjadikan hubungan yang dekat itu menjadi hambar. Hanya fisiknya saja yang berdekatan. Tapi hatinya berjarak. Bahkan jauh sekali. Orang pun mengatakan, rasa cinta yang pudar.
Kasih sayang hilang tidak serta merta. Melainkan bertahap. Karena kehilangannya tak dirasakan, tiba-tiba baru disadari kalau kasih sayangnya hampir lenyap.
Andai kehilangan ini peka dirasakan seperti hilangnya dompet, uang, perhiasan, sepatu, dan lainnya. Tentu si empunya akan segera memupuk kembali rasa kasih sayang itu.
Begitu pun dengan hilang atau susutnya keimanan. Tanpa dirasakan, ternyata iman sudah menipis. Dampaknya, amal ibadah dilakukan hanya sekadar rutinitas. Tak ada pengaruh dalam kehidupan sehari-hari.
Shalatnya rutin tapi tetap mencuri, tetap korupsi, tetap selingkuh. Ibadahnya seperti biasa tapi kikir dan gampang berbohong. Amal ibadah menjadi begitu kering, tak ubahnya sekadar gerakan fisik tanpa gerakan hati.
Keimanan itu bisa naik, bisa juga turun dan mungkin terus mengalami krisis jika tak segera diperbaiki.
Ada nasihat menarik dari sahabat Rasulullah bernama Abu Darda radhiyallahu ‘anhu: “Di antara kefakihan seseorang adalah selalu peka dengan imannya dan segala hal yang menguranginya. Ia paham betul keadaan imannya, apakah sedang bertambah atau berkurang.”
Ketika iman bertambah, seseorang akan gemar beramal soleh. Ibadahnya terus meningkat. Hatinya begitu peka. Ia bisa menangis melalui sentuhan ayat Al-Qur’an. Bahkan begitu tersentuh hanya dengan peristiwa alam biasa yang untuk orang lain sebagai hal biasa.
Misalnya, pergantian siang dan malam, turunnya hujan, kehangatan sinar matahari yang membangkitkan energi, rasa kantuk yang membawa kenikmatan tidur, dan seterusnya. Semua terlihat sebagai ungkapan cinta dari Yang Maha Kasih dan Sayang, Allah subhanahu wata’ala.
Ketika orang kehilangan rasa sayang, ia menjadi buta warna dengan arti sebuah keluhan dan tangisan keluarganya. Dan ketika orang kehilangan iman, dunianya menjadi begitu hampa.
Ketika kehilangan materi kita segera mencari. Begitu pun sepatutnya dengan kehilangan ini.
Umar bin Khaththab menasihati, “Haasibuu qabla antuhaasabuu.” Periksalah apa yang ada dalam diri kita, sebelum kelak Allah yang akan memeriksanya. [Mh]