KECERDASAN adalah sisi lain yang dimiliki orang soleh selain dari ketakwaan. Mereka memahami Al-Kitab, memahami sunnah, dan memahami keselamatan dari ancaman.
Raja Namruz adalah penguasa yang zalim. Bukan hanya bengis, Namruz juga maniak perempuan cantik. Ia menyebar intelijennya, mencari-cari wanita cantik untuk dijadikan istri Namruz.
Salah satu yang dibidik adalah istri Nabi Ibrahim alaihissalam yang bernama Sarah. Sarah dan suaminya dibawa menghadap Namruz.
Namruz bertanya ke Nabi Ibrahim, “Anda ini siapanya Sarah?”
Nabi Ibrahim cerdas. Kalau ia jawab: suami, maka ia pasti akan dibunuh saat itu juga. Jawaban apa yang tidak berbohong, memiliki kewajaran jika terus berdekatan dengan Sarah, dan tidak berbohong. Karena Nabi tidak mungkin berbohong.
Nabi Ibrahim menjawab, “Saya saudaranya Sarah.”
Sarah terkejut. Ia meminta waktu sebentar untuk bicara berdua dengan suaminya. Intinya, Sarah memprotes jawaban suaminya yang berbohong.
Nabi Ibrahim menjelaskan, “Istriku, di negeri ini, hanya kita berdua yang beriman kepada Allah. Aku dan kau adalah saudara seiman.”
Dari situ pula, Nabi Ibrahim dan istrinya bisa selamat dari kebiadakan Namruz.
Pertanyaannya sekali lagi, apakah Nabi Ibrahim berbohong? Dan bolehkah berbohong dengan cara seperti itu?
Dalam Islam, cara mengelabui jawaban yang akhirnya disalahartikan oleh lawan bicara disebut sebagai tauriyah. Dan hal itu dibolehkan dalam Islam.
Dengan catatan, digunakan bukan dalam hal yang buruk. Tapi dalam kemaslahatan. Misalnya menyelamatkan orang yang dizalimi, atau menyelamatkan diri sendiri dari kezaliman penguasa.
Ada orang soleh yang melihat orang baik bersembunyi karena dikejar orang zalim. Orang soleh itu berpindah posisi dari tempatnya berada.
Ketika si pengejar yang zalim itu bertanya, “Hai, apa kau lihat orang lari dan bersembunyi ke arah sini?” Maka, ia dengan tenang mengatakan, “Sejak aku di sini, tak seorang pun yang kulihat kecuali engkau.”
Apakah orang soleh itu berbohong? Sama sekali tidak. Ia mengatakan, sejak ia di posisi baru itu, ia tak melihat siapa pun kecuali si penanya. Dan itu memang benar.
Di masa Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah, penguasa zalim saat itu memaksa siapa pun untuk mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Yang tidak mengatakan itu akan dibunuh.
Datanglah sejumlah pasukan zalim ke rumah seorang ulama. Ulama itu ditanya, “Apakah engkau berpendapat bahwa Al-Qur’an bukan makhluk?”
Ulama itu menjawab dengan tenang, “Menurutku sudah jelas, Taurat, Zabur, Injil, dan Al-Qur’an; semua ini adalah makhluk!” Sambil jarinya satu per satu menunjuk hingga empat jari mengikuti jumlah kitab yang disebutkan itu.
Seolah-olah, ulama itu mengatakan bahwa kitab-kitab itu adalah makhluk. Padahal, yang ia maksud dengan jawaban ‘semua ini’ adalah empat jarinya itu. Bukan kitab yang empat itu.
Jadi, berani saja belum cukup untuk menunjukkan kesolehan seseorang. Orang soleh juga harus cerdas.
Jika memang ada madharat yang bisa merugikan diri dan umat, dibolehkan untuk melakukan tauriyah. [Mh]