MALU sebagian dari iman. Begitulah nasihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadis riwayat Imam Muslim.
Malu itu perhiasan berharga seorang mukmin. Malu bahkan melampaui standar ketaatan hukum seseorang.
Bayangkan jika seorang pria masuk ke mall tanpa baju, hanya bercelana pendek sampai lutut. Tentu, satpam akan menghentikannya.
Kalau saja si pria itu protes: hukum apa yang telah ia langgar sehingga ia dilarang masuk? Boleh jadi, pak satpam akan bingung sendiri. Karena memang tidak ada hukum yang dilanggar.
Masalahnya adalah karena si pria tanpa baju itu telah melanggar standar etika. Meskipun ia tidak melanggar hukum.
Contoh lain, bayangkan ketika kita akan mengadakan pesta yang sudah direncanakan di rumah. Semua sudah disiapkan. Tapi pada hari H-nya, tetangga sebelah meninggal dunia.
Tentu akan terjadi pemandangan yang kontras kalau pesta tetap dilakukan sesuai rencana. Ada yang sedang berduka dan menangis, tapi di sebelahnya justru sedang berpesta penuh tawa.
Tak satu pasal hukum pun yang dilanggar jika pesta tetap dilaksanakan. Yang dilanggar adalah etika dan kepatutan.
Kadang, sebagian orang terjebak dalam pandangan picik bahwa hanya hukum yang jadi patokan. Selama hukum tidak dilanggar, apa saja bisa dilakukan.
Padahal, hukum hanya tentang benar atau salah. Bukan tentang buruk atau bagus. Bukan tentang biasa atau sangat mulia.
Hukum merupakan batas apakah seseorang bisa diberikan sanksi atau tidak. Bukan tentang apakah ia patut, terpuji, mulia, atau biasa saja.
Islam mengajarkan tentang ihsan. Yaitu perilaku terpuji yang dilakukan bukan karena tentang salah atau benar. Tapi karena keutamaan demi meraih ridha Allah yang Pengasih dan Penyayang.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Wa ahsin kamaa ahsanallahu ilaika.” Berihsanlah kamu kepada makhluk Allah, sebagaimana Allah sudah berihsan kepadamu. (QS. Al-Qashash: 77)
Allah subhanahu wata’ala telah memberikan kita dengan sesuatu yang serba luar biasa. Bukan sekadar makanan dan minuman biasa, karena itu tidak dinikmati hewan dan makhluk lain.
Bukan sekadar penciptaan biasa karena hal itu juga tidak dinikmati makhluk lain. Tapi sesuatu yang luar biasa. Sesuatu yang melampaui ‘sekadarnya’.
Output dari sikap ihsan adalah rasa malu. Malu terhadap sesama manusia. Terlebih lagi, malu terhadap Allah subhanahu wata’ala.
Benar apa yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: jika tak ada lagi rasa malu, lakukan apa saja sesukamu. [Mh]