ChanelMuslim.com- Sekiranya dunia ini baik, maka Rasulullah adalah orang yang paling kaya. Nyatanya, tak ada bekas dunia yang diwariskan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali rumah kecil yang saat ini menjadi makamnya.
Orang-orang yang menetapkan kiblatnya kepada dunia bisa dikatakan sebagai orang yang tidak paham sebenarnya dunia itu.
Mereka lupa bahwa dunia ini dalam bentuk fisiknya bulat. Kalau ia terus berlari ke arah kanan, maka sepanjang dunia ini akan hanya ada kanan tanpa putus. Begitu pun arah sebaliknya.
Sekiranya ia mengejar puncak dunia ini. Maka, selalu saja terlihat ada puncak yang lebih tinggi dari yang ia capai.
Allah juga mentakdirkan adanya grafitasi sebagaimana daya tarik yang kuat terhadap dunia ini. Sehingga di mana pun seseorang berada di dunia ini selalu saja daya tarik itu mengikatnya.
Dunia juga menampakan fatamorgana. Sebuah pemandangan yang terlihat menarik dari kejauhan, tapi hanya sekadar panas dan haus saat berada dalam dekat.
Orang miskin ingin kaya karena kekayaan itu dirasa akan memberikan maslahat hidupnya. Orang yang sudah kaya ingin jauh lebih kaya karena yang dimilikinya dirasa belum seberapa. Perbenturan pun akhirnya terjadi. Kaya dan miskin bertarung untuk mendekati lokasi fatamorgana.
Sejarah mencatat, problem besar orang-orang soleh bukan saat mereka jauh dari dunia. Justru saat dunia begitu dekat, problem besar datang tak kunjung usai.
Ketika Baitul Maal di zaman Nabi belum ada, tak ada orang yang berjuang karena dunia. Begitu pun di masa para khulafaur rasyidin: Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali radhiyallahum ajma’in.
Namun manakala Baitul Maal mulai menampakkan fatamorgananya, kotak pandora aneka nafsu dan kejahatan ikut keluar dengan bebasnya. Hingga terjadi, orang soleh memerangi orang soleh. Sebuah musibah yang belum pernah terjadi di masa sebelumnya.
Secara individu, orang bisa begitu dekat dengan Allah saat dunianya mendekati angka nol. Lisannya tak kering dari doa dan zikir, langkahnya tak jauh dari masjid, dan seterusnya.
Namun manakala dunia tampak di tangannya, lisannya lebih sibuk menghitung yang disimpan. Akal dan hatinya lebih terdominasi dengan yang dimiliki. Langkahnya pun lebih banyak ditujukan untuk menikmati dunia.
Kalaupun ia miskin sepanjang usianya, maka miskinnya itu tak lebih dari seratus tahun. Karena zikir, doa, dan langkah ke masjidnya itu, si miskin akan mendapati surga selama-lamanya.
Jika dunia penuh tipuan yang ia miliki dalam usia yang singkat itu, maka akhiratnya lenyap untuk selamanya-lamanya. Membandingkan dunia dengan akhirat tak ubahnya seperti setetes air di ujung jari dengan lautan samudera yang luas.
Tak ada nabi yang kaya kecuali segelintir saja. Itu pun sebagai pertanda bahwa miskin bukan bentuk kemarahan Allah Yang Maha Bijaksana.
Begitu pun, tak ada para salafus soleh yang dikenal karena warisan kekayaannya. Yang dikenal dari mereka karena khazanah ilmu dan takwanya. Dan warisan itulah yang bisa terus dinikmati hingga saat ini.
Maha Benar Allah dalam firmanNya, “Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja dengan mengharap keridhaanNya. Dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia. Janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti keinginannya dan keadaannya sudah melewati batas.” (QS. 18: 28) [Mh]