DAKWAH itu mengajak orang kembali ke jalan Allah subhanahu wata’ala. Jalan yang lurus, jalan yang penuh dengan kenikmatan hakiki.
Menjelang abad kedua hijriyah, dakwah Islam dan kekuasaan jalan terpisah. Para ulama berjalan menempuh rutenya sendiri, begitu pun dengan kekuasaan.
Namun begitu, sesekali para ulama menegur dan meluruskan jalan kekuasaan yang mulai bengkok. Meskipun dakwah seperti itu tak mudah. Karena yang didakwahi merupakan pusat kekuasaan pemerintahan.
Masa itu adalah masa di mana para ulama pengikut tabi’in atau generasi setelah para sahabat Nabi. Di antara mereka adalah Imam Malik, Sufyan bin Uyainah, Abdullah Ibnu Mubarak, dan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahumullah.
Ketika, kekhalifahan dipimpin oleh seorang khalifah yang baik dan bijaksana. Beliau adalah Harun Ar-Rasyid, salah seorang khalifah di masa Kekhalifahan Bani Umayyah.
Suatu kali, Harun Ar-Rasyid mengundang para ulama ke istananya. Di antara mereka adalah Imam Malik, Sufyan Ibnu Uyainah, Abdullah Ibnu Mubarak, dan Fudhail bin ‘Iyadh. Momen ini akan menjadi mahal karena inilah kesempatan ulama bisa ‘meluruskan’ khalifah.
Sufyan bin Uyainah mengisahkan. Saat itu, Fudhail bin ‘Iyadh datang terlambat. Ia kemudian duduk di sebelahnya.
Tiba-tiba Fudahil bertanya kepada Sufyan bin Uyainah, “Khalifahnya yang mana? Saya belum pernah berjumpa dengan dia.”
Sufyan dengan sungkan memberikan isyarat kepada seseorang yang ada di hadapan mereka. Fudhail pun mengangguk.
Kemudian, ia mengatakan kepada Harun Ar-Rasyid, “Pria tampan inikah yang bersedia memikul amanah ummat? Wahai Khalifah, sungguh Anda sedang memikul amanah yang sangat berat!”
Mendengar ucapan itu, Harun Ar-Rasyid tiba-tiba tertunduk. Ia tidak berkata apa-apa. Sesaat kemudian, terdengar darinya suara tangisan yang ditahan.
Ucapan sederhana yang dilontarkan Fudhail bin Iyadh ternyata begitu kuat membekas di hati Harun Ar-Rasyid.
Tanpa berisikan nasihat panjang yang penuh dalil, sapaan simpel itu sudah meluruskan apa yang ada dalam diri Khalifah Harun Ar-Rasyid. Para ulama yang hadir di situ pun terdiam. Dan rasanya, pertemuan para ulama dan khalifah itu pun secara otomatis sudah mencapai klimaksnya.
**
Begitu banyak dai yang ‘meluruskan’ para punggawa negeri. Namun, tak sebagian besarnya memberikan dampak berarti.
Seolah ada kesenjangan yang menghalangi suara para dai dengan rongga hati yang ingin diluruskan. Kesenjangan bisa datang dari yang menerima, bisa juga dari yang menyampaikan atau dai itu sendiri.
Hambatan itu bisa datang dari kebersihan hati para dai, juga keikhlasan mereka dalam berdakwah. Perubahan tidak akan terjadi hingga jiwa-jiwa manusia itu sendiri yang berubah.
Maha Benar Allah dalam firman-Nya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan dalam jiwa-jiwa mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’du: 11) [Mh]