CERDAS, taat, dan tsiqah merupakan tiga sifat utama seorang istri yang solehah. Ia sebagai istri, sebagai hamba Allah, dan sebagai ulama.
Ada seorang wanita solehah generasi tabi’in. Namanya, Shafiyah binti Abu Ubaid radhiyallahu ‘anhuma.
Ayahandanya seorang mujahid yang masuk Islam di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh Khalifah Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ia diangkat sebagai panglima perang dalam penaklukan Kekaisaran Persia. Abu Ubaid bersama 400 anggota pasukannya dikabarkan syahid.
Khalifah Umar bin Khaththab menikahkan putri sang panglima tersebut dengan putranya: Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma.
Pernikahan itu berlangsung pada tahun ke-16 hijriah. Umar memberikan mahar untuk calon menantunya itu sebesar 400 dirham atau sekitar 40 juta rupiah. Abdullah bin Umar juga menambahkan lagi 200 dirham. Jadi total maharnya sebesar 600 dirham.
Hampir semua sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang masih hidup saat itu ikut hadir menyaksikan pernikahan itu.
Shafiyah dikenal begitu cerdas, taat, dan tsiqah. Ia begitu aktif belajar melalui shahabiyah yang masih ada saat itu. Antara lain melalui tiga Ummul Mukminin: Aisyah binti Abu Bakar, Hafshah binti Umar, dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhum.
Jalur periwayatan hadis yang disampaikan melalui Shafiyah tergolong tsiqah atau terpercaya. Ini menandakan hafalan dan kesolehannya yang luar biasa.
Shafiyah juga dikenal sebagai istri yang taat. Pernah suatu kali ketika suaminya sakit, ia diminta untuk membelikan anggur.
Suaminya memberikannya uang 1 dirham. Ia pun berangkat membeli anggur. Tapi setibanya di rumah, ada seorang pengemis. Persis saat anggur itu akan diberikan ke suaminya yang sakit.
Suaminya meminta Shafiyah untuk memberikan anggur itu ke pengemis. Hal itu terjadi sampai tiga kali. Shafiyah mondar-mandir ke tukang anggur dan si pengemis seperti menunggunya di rumah untuk meminta makanan.
Namun begitu, ia tetap sabar untuk mondar-mandir sampai lebih dari tiga kali. Dan pada yang keempat kalinya, sang pengemis tak lagi dijumpai saat ia tiba di rumah, sehingga Shafiyah bisa memberikan anggur itu ke suaminya yang sakit.
Kejadian yang mirip juga pernah terjadi saat Shafiyah dan suaminya menetap di Juhfah, sebuah kawasan yang dijadikan Miqat untuk peziarah yang datang dari arah Suriah dan Mesir.
Suatu kali, suaminya ingin sekali makan ikan dengan olahan khas ‘tangan’ Syafiyah. Ikan pun dicari dengan susah payah. Setelah itu ia masak begitu lama.
Tapi, setelah olahan ikan kreasinya sudah matang, datang pengemis meminta-minta ke rumahnya. Suaminya meminta Shafiyah memberikan seluruh masakan ikan itu ke pengemis. Dan masakan ikan itu pun diberikan ke pengemis.
**
Selain di luar rumah, wanita juga bisa menjadi mujahid di rumahnya sendiri. Yaitu, dengan sungguh-sungguh dan sabar menunaikan perintah suami.
Meskipun, kesungguhan dan kesabaran itu kadang harus bertabrakan dengan emosi dan perasaannya sendiri. [Mh]