TAKDIR itu rahasia Allah subhanahu wata’ala. Kadang berjalan seiring dengan ikhtiar, tak jarang pula berseberangan.
Banyak peristiwa dalam hidup ini yang tidak sejalan dengan ikhtiar manusia. Di situlah akhirnya dipahami bahwa porsi manusia hanya sebatas ikhtiar dan penentunya takdir Allah subhanahu wata’ala.
Bayangkan jika kita berada di kecelakaan lalu lintas di Semarang pada Sabtu malam lalu. Mereka sudah berikhtiar untuk selamat di jalan. Antara lain berhenti di lampu merah.
Tapi di luar dugaan, datang truk tronton yang mengalami rem blong melaju cepat dari arah belakang. Semua kendaraan yang berhenti itu hancur tertabrak. Tiga orang dikabarkan tewas, dan puluhan lainnya luka-luka.
Peristiwa lain juga terjadi Padang, Sumatera Barat. Seorang anak delapan tahun yang hendak berwudu tewas tertimpa tembok yang roboh.
Dari kamera CCTV terlihat bahwa korban ‘menemani’ kawannya yang sedang wudu. Ia datang belakangan. Tapi posisinya berada tepat di bawah tembok yang akhirnya roboh menimpanya.
Masih banyak kisah lain yang tak terekam publik. Yang semuanya ‘memaksa’ siapa pun untuk tunduk pada sebuah keyakinan bahwa takdir Allah mendahului apa pun.
Pelajarannya sederhana. Lihatlah takdir musibah khususnya kematian tidak seolah kita sebagai penonton sepak bola. Sesengit apa pun reaksi penonton, mereka tak akan pernah turun ke lapangan untuk menjadi pemain.
Cobalah posisikan diri seolah sebagai pemain pengganti atau cadangan. Yang kita tonton saat ini memang pemain lain, tapi cepat atau lambat, kitalah yang ada di tengah lapangan itu.
Yang paling penting menyiasati takdir adalah kesiapan kita menghadapinya. Dan kesiapan itu disebut sebagai istiqamah.
Istiqamah adalah selalu tegak lurus dengan apa yang Allah perintah dan larang. Karena dari situlah Allah akan mempertemukan takdir akhir hidup kita dalam husnul khatimah.
Persis seperti pemain cadangan yang siap sedia kapan saat gilirannya datang. Bukan seperti penonton yang tidak pernah merasa bahwa dirinya akan ada di posisi orang yang ditontonnya. [Mh]