ChanelMuslim.com- Langkah itu ada dua. Maju dan mundur. Kadang satu langkah mundur harus diambil agar bisa maju seribu langkah.
Jalan hidup itu tidak landai. Tidak juga selalu mulus tanpa hambatan. Kadang ada tanjakan terjal, dan turunan curam.
Itulah rumus pasti kehidupan. Karena kita ada dalam rute hidup ini bukan dimaksudkan untuk senang-senang. Bukan juga dirancang untuk tempat istirahat nan nyaman.
Hidup dimaksudkan untuk ujian. Apa saja bisa masuk dalam momen ujian. Jangankan kesusahan dan kesengsaraan, anugerah sesaat kesenangan pun juga dimaksudkan sebagai ujian.
Ketika rute hidup ditapaki dalam langkah, obsesinya selalu untuk maju. Seolah di benak kita terpatri kalimat, “Langkah hidup itu harus maju, bukan mundur.”
Padahal dalam kehidupan sehari-hari ditemukan kenyataan, langkah mundur kadang harus diambil untuk bisa terus maju. Mobil yang terjebak selip saat berjalan, tidak perlu dipaksakan untuk terus maju. Coba ambil langkah mundur untuk dapat posisi bagus, baru kemudian bisa diambil langkah maju.
Kadang, bukan sekadar langkah mundur yang diperlukan agar bisa terus maju. Sebuah kondisi juga bisa memaksa kita untuk ambil jalan memutar agar bisa terus maju. Dari segi jarak tempuh memang lebih panjang, waktu pun bisa lebih lama; tapi kita akan bisa terus maju.
Seorang pendaki paham betul tentang ini. Ketika jalan setapak yang dilaluinya begitu terjal untuk dinaiki, ia akan cari jalan memutar untuk bisa sampai ke tujuan. Tentu akan lebih lama. Tapi, waktu lama dan tambahan energi itu akan menjadi tebusan bahwa tujuan akan bisa dicapai dengan selamat.
Intinya hambatan harus dilalui. Langkah mundur dan memutar hanya sebagai strategi untuk menyiasati hambatan agar bisa dilewati. Dengan kata lain, langkah mundur dan memutar jauh lebih baik daripada diam di tempat.
Kadang, kita terkesima dengan sosok hambatan. Gambaran untuk mengambil langkah maju pun menjadi buram. Bahkan gelap sama sekali. Seolah kitalah yang memang pantas untuk mengukur kemampuan kita untuk dihadapkan dengan hambatan seperti apa.
Padahal, unsur manusiawi kita selalu ingin hidup tanpa hambatan. Unsur manusiawi kita pula yang berkecenderungan memilih menyerah, daripada bersusah payah menyiasati langkah.
Jadi, boleh jadi, bukan hambatannya yang besar. Tapi, unsur-unsur manusiawi kita itu yang menjebak kita pada jejaring kesimpulan bahwa jalan sudah mentok. Sudah tidak ada harapan. Sudah finish sampai di sini. Dan, sudah tidak akan ada langkah lagi.
Kita mungkin lupa bahwa sosok hambatan yang menghadang bukan wewenang kita. Ada pihak lain yang Maha Tahu kemampuan kita dan kesesuaian hambatan seperti apa yang pantas untuk kita hadapi. Dengan kata lain, hambatan apa pun yang menghadang, dia layak untuk kita hadapi.
Jadi, langkah mundur selangkah dan memutar bukan sebagai pengakuan ketidakmampuan diri. Justru, sebagai cara untuk mengukur dan menghitung ulang seperti apa potensi kita sebenarnya. Karena boleh jadi, kita kurang menyadari bahwa potensi kita jauh lebih mampu dari apa yang selama ini kita bayangkan.
Langkah mundur selangkah dan memutar bukan pula lari dari kenyataan. Tapi sebagai penemuan cara baru bahwa kita sangat mampu untuk terus maju. Maju melewati hambatan. Maju untuk sampai ke tujuan.
Langkah hidup adalah langkah perjuangan. Butuh kerja keras dan pengorbanan. Strategi langkah mundur dan memutar bukanlah wujud kekalahan. Seperti pada jurus-jurus bela diri, langkah itu justru sebagai kamuflase dari serangan mematikan. (Mh)