IKHLAS itu dasar dari nilai semua amal. Tanpa keikhlasan, amal bisa tidak memiliki nilai apa pun.
Semua kita menginginkan amal yang dilakukan memiliki nilai sempurna di sisi Allah subhanahu wata’ala. Mulai dari shalat, puasa, zakat, infak, sedekah, zikir, tilawah, umrah, haji, dan lainnya.
Sayangnya, tidak semua kita merasa perlu untuk menyertakan keikhlasan dalam amal tersebut. Dan ikhlas atau tidaknya amal, hanya Allah dan diri kita yang tahu.
Hal itu karena ikhlas ada di hati. Mungkin saja ada yang diucapkan bahwa amal diniatkan ikhlas karena Allah. Tapi tetap saja, apa yang di hati itu yang dinilai Allah.
Memang godaan terhadap ikhlas itu sangat berat. Ada godaan yang datang dari diri sendiri, dan tentu saja ada yang dari bisikan setan melalui hati.
Sedikit saja kita mengiyakan, maka niat pun akan melenceng. Tidak lagi murni karena Allah, tapi karena yang lain. Bisa karena ingin dipuji alias pencitraan, karena ingin mendapatkan ‘benefit’ dari pengorbanan amal itu, atau yang lainnya.
Logika materialis kadang menyelipkan ‘inspirasi’ buruk berupa keuntungan duniawi dari sebuah amal. Misalnya, berupa dukungan konstituen, marketing dan branding, dan lainnya.
Islam memang membolehkan amal dilakukan dengan dua cara. Bisa dengan rahasia, bisa juga dengan publikasi. Dua cara itu sebenarnya tidak menentukan keikhlasan amal. Karena keikhlasan sekali lagi ada dalam hati.
Allah subhanahu wata’ala berfirman, “Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapatkan pahala di sisi Tuhannya…” (QS. Al-Baqarah: 274)
Bahkan, ulama mewanti-wanti jika ada yang tidak mau beramal karena takut riya, sebenarnya itulah riya. Jadi, beramallah, baik dalam keadaan sembunyi maupun terang-terangan.
Karena tidak semua amal bisa dilakukan secara sembunyi. Seperti shalat berjamaah untuk pria, umrah dan haji, zakat, wakaf, tasyakuran, dan lainnya.
Namun jika memang amal tergolong yang bisa dilakukan dengan rahasia, boleh jadi hal itu jauh lebih baik. Misalnya, shalat sunnah, puasa sunnah, sedekah, dan lainnya.
Anggap saja apa yang kita amalkan bukan hal yang istimewa. Jadi, tidak patut untuk diceritakan, apalagi dibangga-banggakan.
Selain itu, kita beramal karena Allah, Dzat Yang Maha Tahu terhadap segala yang tersembunyi. Biarkan amal istimewa kita menjadi hubungan khusus antara kita dengan Allah saja.
Orang yang terbiasa beramal ikhlas tidak merasa peduli dengan respon orang sekitar. Diapresiasi atau tidak, ia akan terus beramal seperti biasa. Karena tujuan amalnya memang bukan untuk itu.
Beramal dengan ikhlas memang bukan hal mudah. Tapi dengan keinginan yang kuat, insya Allah, akan banyak jalan yang akan Allah sediakan. [Mh]