SUBHAT itu antara halal dan haram. Kehati-hatian dengan yang subhat menghindarkan kita dari yang haram.
Di masa Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, ada kisah menarik tentang seorang wanita tukang tenun. Ia mendatangi rumah Imam Ahmad karena ingin menanyakan tentang hukum sesuatu.
Wanita itu mengetuk pintu dan menanyakan ke anak Imam Ahmad apakah ayahnya ada di rumah. Anak Imam Ahmad yang bernama Abdullah mengabarkan ke ayahnya kalau ada tamu.
Imam mempersilakan wanita itu masuk. Sementara anak Imam Ahmad berada di antara keduanya.
Wanita itu mengatakan, “Saya seorang penenun. Saya menenun di malam hari. Kalau lampu saya padam, saya melanjutkan tenunannya di bawah cahaya rembulan. Apakah saya harus menjelaskan hal ini ke pelanggan saya?”
Imam Ahmad menjawab, “Menurut Anda, apakah ada perbedaan, antara hasil tenunan dengan lampu dengan hasil dari penerangan rembulan? Nah, kalau ada perbedaan, Anda sebaiknya menjelaskan ke pelanggan Anda.”
Wanita itu mengangguk. Ia juga menanyakan apakah rintihan karena sakit termasuk keluhan kepada Allah.
Tentang pertanyaan kedua, Imam Ahmad menjelaskan, semoga hal itu bukan sebagai keluhan kepada Allah.
Wanita itu pun pamit. Ia pun keluar dan meninggalkan rumah Imam Ahmad.
Setelah wanita itu keluar, Imam Ahmad merasakan ada yang lain dari wanita itu. Hal ini karena Imam Ahmad jarang sekali mendapati pertanyaan yang begitu menunjukkan kehati-hatian seseorang terhadap subhat.
Ia memanggil anaknya: Abdullah, untuk mengikuti arah perjalanan pulang wanita itu. Abdullah pun mengikuti.
Ternyata, wanita itu pulang ke rumah seorang ulama besar, yaitu Imam Bisyri Al-Harits Al-Hafi. Ia merupakan seorang ulama yang dikenal sangat wara’ atau sangat hati-hati tentang masalah subhat.
Dan wanita itu merupakan adik dari Imam Bisyri yang bernama Sayyidah Mukhah. Imam Bisyri bahkan pernah mengatakan, “Aku belajar tentang wara’ dari adik perempuanku.”
**
Sifat wara’ atau hati-hati terhadap hal subhat bisa dibilang sudah sangat langka di zaman saat ini. Bahkan, mungkin masih banyak yang bilang, “Nggak papa, paling cuma subhat!”
Padahal, subhat bisa dibilang lampu kuning terhadap sesuatu yang dikhawatirkan akan jatuh ke haram.
Jangan-jangan, alih-alih yang subhat, yang haram pun mungkin tidak sedikit orang yang meremehkan: “Kalau sedikit nggak papa kali ya!” Naudzubillah. [Mh]