MENEGUR itu meluruskan. Mengajak itu mengenalkan. Mengajak bisa terbuka. Tapi menegur sebaiknya face to face.
Dakwah yang dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bisa bermakna mengajak, bisa juga menegur. Keduanya berbeda dari cara dan isi.
Kalau Nabi mengenalkan tentang Islam, biasanya terbuka. Dalam ceramah, pengumuman, khutbah, dan lainnya. Orang banyak akan menyimak.
Namun jika menegur, Nabi melakukannya ‘diam-diam’. Beliau memanggil yang bersangkutan, kemudian meluruskan dalam bentuk nasihat. Biasanya, yang bersangkutan sendiri yang mengabarkan ke umat melalui hadis yang diriwayatkan oleh dirinya sendiri.
Contoh, nasihat Nabi kepada seseorang yang shalatnya terburu-buru. Nabi memintanya mengulang lagi. Hingga akhirnya, beliau sampaikan kekeliruan dan pelurusannya.
Memang, ada teguran yang lain dari biasanya. Yaitu, teguran yang menyangkut akidah, hukum negara atau masyarakat, dan hal yang cakupannya besar. Tentang hal ini, meski kasusnya dari satu orang, tapi teguran dan pelurusannya diumumkan ke orang banyak.
Contoh, kasus yang dialami Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu. Beliau pernah datang ‘melobi’ Nabi untuk keringanan hukuman seorang wanita pembesar Mekah yang mencuri.
Nabi marah besar. Ia menegur Usamah dengan keras dan meluruskannya. Kemudian, Nabi pun keluar rumah dan menyampaikan hal itu ke orang banyak.
Teguran yang diumumkan ini terjadi karena kasusnya menyangkut orang banyak. Yaitu, keadilan terhadap hukum. Jadi, bukan tentang Usamahnya. Melainkan tentang temanya.
Mengajak itu terhadap siapa saja: yang dikenal atau pun tidak. Dan semua orang sebaiknya memang tahu. Tapi menegur itu meluruskan sosok tertentu. Sehingga caranya harus langsung ke yang bersangkutan, bukan ‘ngefek’ melalui orang lain atau sarana umum.
Selain itu, menegur bisa mengandung tabayun. Karena boleh jadi, info yang diterima tidak sesuai dengan kasus yang sebenarnya. Bayangkan jika infonya salah, tapi orang banyak sudah terlanjur tahu bahwa seseorang sudah ditegur.
Ibaratnya, kalau yang ditegur dekat, kenapa harus berteriak-teriak. Kalau bisa berbisik, kenapa harus dengan suara kencang sehingga mengundang tanda tanya orang lain.
Kalau dalam istilah Al-Qur’annya, ada yang disebut dengan dakwah atau mengajak. Ada juga yang disebut taushiyah atau saling berwasiat.
Kalau dakwah untuk publik, tapi taushiyah untuk kalangan internal. Karena itu, bimbingan dari Allah subhanahu wata’ala dalam Surah Al-‘Ashr, surah yang ke-103, taushiyah tidak cukup dengan isi yang benar. Tapi juga dengan cara yang sabar. Di surah lain, ditambah lagi dengan cara penuh kasih sayang atau marhamah.
Tegurlah saudara kita dengan cara yang baik, maka hasilnya akan baik. Tapi ketika menegur dengan cara yang bombastis, maka yang bersangkutan akan apatis. [Mh]