HIDUP itu anugerah. Meskipun, kita membayangkan seolah dimulai dari nol.
Apa yang patut kita ucapkan dan sikapi saat fajar pagi membangunkan kita dari istirahat panjang? Ya, kita mengucapkan ‘alhamdulillah’.
“Alhamdulillaahil ladzii ahyaana ba’da maa amaatanaa wa ilaihin nusyuur.” Segala puji bagi Allah yang menghidupkan kami setelah mematikan, dan kepada-Nya kami kembali. (HR. Bukhari)
Kita mengucapkan ‘alhamdulillah’ bukan sekadar karena telah beristirahat sempurna. Tapi karena telah dianugerahi kembali hidup.
Itulah awal agenda hidup kita hari itu. Yaitu, mengucap rasa syukur kepada Allah atas anugerah hidup. Karena dengan hidup, nikmat-nikmat lain akan mengiringinya.
Mengawali hidup dengan ‘alhamdulillah’ akan menstimulasi jiwa kita untuk optimis. Bahwa, pada hari itu akan banyak nikmat lain yang harus kita jemput.
Ada nikmat yang harus kita kejar. Ada pula nikmat yang mengejar-ngejar kita. Dan nikmat yang kedua porsinya jauh lebih besar dari yang pertama.
Apa saja nikmat yang mengejar-ngejar itu? Ada udara segar yang siap saji di hadapan kita. Ada sinar matahari yang ‘memaksa’ merambat masuk ke seluruh pori-pori bangunan rumah. Ada mata air yang sudah menunggu dari semalam. Dan kita hanya tinggal menekan tombol saklar.
Ada lagi gerak detak jantung yang tak pernah kita kendalikan. Ada gerak aliran darah yang sedikit pun tak pernah kita pikirkan. Ada proses pencernaan dalam tubuh yang seolah bergerak otomatis tanpa ada campur tangan si pemakai tubuh. Dan lainnya.
Kalau hidup diawali dengan ungkapan syukur, maka nikmat-nikmat yang lebih besar akan siap datang. “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. 14: 7)
Nikmat tidak melulu berwujud materi. Ada nikmat lain yang jauh lebih bernilai, yaitu hidayah atau bimbingan dari Allah agar kita selamat dari jalan yang menjerumuskan.
Perhatikanlah nikmat bimbingan berupa kalimat-kalimat Allah yang suci dalam Al-Qur’an. Dari sekian banyak firman-Nya yang mulia, diawali dengan ucapan syukur pada awal surah pertama: alhamdulillahi rabbil ‘aalamiin.
Di saat yang sama, setan memunculkan sisi lain dari diri kita. Yaitu, tentang hal-hal yang belum kita peroleh dan dapatkan.
Meski sisi ini tergolong kecil dari sisi sebaliknya, kadang kita terprovokasi untuk menenggelamkan jiwa dalam ketidakpuasan. Ada protes karena nikmat yang diterima terasa masih sedikit.
Provokasi ini tidak akan mampu mengubah apa yang akan kita dapatkan menjadi lebih banyak. Sebaliknya, akan menstimulasi jiwa untuk menyerah dan akan kian terpuruk dalam masalah.
“…tapi jika kamu kufur (terhadap nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat pedih.” (QS. 14: 7)
Lawan provokasi setan. Lawan dengan memaksakan diri untuk ikhlas mengucapkan ‘alhamdulillah’. Karena hanya dengan begitu akan ada optimis dan kesungguhan. [Mh]