ADAB itu perilaku atau budi pekerti. Ilmu itu pengetahuan. Mana yang harus diutamakan: adab atau ilmu?
Kata adab sudah sangat akrab di masyarakat kita. Begitu pun dengan kata ilmu. Namun begitu, kadang tidak semua orang sepakat mana yang lebih diutamakan antara adab dan ilmu.
Di masa pendidikan orang-orang tua dahulu, adab menjadi dasar yang harus diajarkan kepada anak-anak. Anak-anak remaja pun menjadi begitu sopan, kalem, dan penurut.
Saat itu, sudah menjadi hal biasa kalau guru sekolah atau guru mengaji memegang penggaris atau sapu lidi untuk ‘menghukum’ murid-murid yang ‘bandel’.
Di masa itu, sebandel-bandelnya anak, ia tidak berani membantah orang tua. Segalak-galaknya preman, tetap menghormati orang yang jauh lebih tua.
Dari segi keilmuan, capaian sekolah-sekolah pada masa itu boleh jadi tidak secanggih sekarang. Tapi, saat itu tidak pernah dikenal istilah tawuran. Dan tidak pernah terdengar adanya tawuran antar pesantren.
Bobot pendidikan formal dan informal termasuk di rumah selalu menekankan adab daripada keilmuan. Bahkan keilmuannya ada yang sangat standar sekali: hanya bisa membaca, menulis, dan berhitung saja.
Bandingkan dengan dunia pendidikan saat ini. Seiring terbukanya metodologi pendidikan lintas negara, faktor adab menjadi terasa tak lagi begitu penting. Setidaknya, tidak menjadi hal yang utama.
Bahkan, unsur utama pembentuk adab: teladan dan disiplin, sedikit demi sedikit tak lagi terasa perlu. Siswa dibiarkan bebas ‘berekspresi’.
Ada juga guru atau pendidik yang khawatir kalau tindakannya untuk mengajarkan disiplin kepada murid bisa kena delik hukum, karena tuduhan melakukan kekerasan.
Adab Lebih Utama dari Ilmu
Imam Malik rahimahullah pernah mengajarkan bahwa adab itu lebih utama dari ilmu. Kalau beliau sedang bicara, tak seorang pun muridnya yang berani bicara atau bertindak kecuali dengan izin.
Hikmah pengajaran inilah yang boleh jadi terus diturunkan ke pesantren. Jangan heran jika ada unsur ‘kekerasan’ untuk membangunkan santri di waktu dini hari.
Karena kalau membangunkan santri dengan lemah lembut di saat mereka sedang asyik-asyiknya tidur, rasanya tidak akan ada yang mau bangun.
Begitu pun ketika guru sedang bicara. Tak seorang pun murid yang boleh ‘memotong’, meskipun ilmu yang disampaikan guru salah. Tunggu izin dari sang guru, baru boleh ‘meluruskan’. Itu pun dengan cara bertanya, bukan menyalahkan.
Hikmah Pertemuan Nabi Khidir dan Nabi Musa
Allah subhanahu wata’ala ‘mempublikasi’ pertemuan Nabi Khidir dan Nabi Musa alaihimussalam dalam Al-Qur’an. Tentu banyak hikmah yang bisa dikaji dari kisah di Surah Al-Kahfi itu.
Antara lain, lebih mengutamakan adab dari ilmu. Mungkin saja ada hal yang sepertinya salah dari guru. Tapi adab mengajarkan agar murid harus bersabar hingga adanya penjelasan dari guru. Karena boleh jadi, ada hikmah yang belum ‘ditangkap’ murid dari ‘kesalahan’ gurunya.
Begitu pun dengan kita. Siapa pun kita, sebagai tetangga, sebagai bawahan, sebagai anggota masyarakat, anggota organisasi, apalagi dalam keluarga. Adab harus diutamakan dari keilmuan kita yang boleh jadi sangat sedikit.
Kemuliaan seseorang bukan dilihat dari harta, jabatan, dan titel pendidikannya. Melainkan dari adabnya. [Mh]