ANAK tumbuh dan besar mengikuti pola asuh orang tuanya. Begitu pun dengan bakat bawaannya.
Di wilayah Marwa, Uzbekistan bagian barat, lahir seorang tokoh ulama pada tahun 118 hijriyah. Ia mewariskan kekayaan yang begitu berlimpah dari kakek dan orang tuanya.
Namanya Abdullah Ibnul Mubarak bin Wadhih Al-Hanzhali Al-Marwazi. Orang biasa menyebutnya dengan Ibnu Mubarak rahimahullah.
Yang fenomenal bukan hanya sosoknya. Melainkan juga kisah pernikahan ayah dan ibunya. Begitu banyak versi yang mengkisahkan pernikahan ayah dan ibunya itu. Tapi intinya sama: kesolehan yang luar biasa.
Ayahnya itu seorang budak dari Turki yang bekerja di perkebunan buah seorang pejabat di wilayah Uzbek itu.
Suatu kali, ayahnya diminta tuannya untuk memetikkan delima yang manis. Ia pun mengambilkannya. Tapi ketika dicicipi tuannya, rasanya asam.
Ayahnya pun diminta memetikkan lagi. Berkali-kali memetikkan buah delima, hasilnya tetap sama: asam.
“Apa kamu tidak bisa membedakan mana yang manis dan asam?” ujar tuannya yang juga merupakan kakek dari Ibnu Mubarak ini.
“Saya tidak pernah mencicipi buah-buah itu, Tuan. Saya hanya menjalankan amanah Tuan untuk menjaga kebun.
“Selama bertahun-tahun kamu tidak pernah mencicipinya?” tanya tuannya lagi. Budaknya pun mengangguk.
Seorang pejabat yang juga ahli hukum syariah begitu memahami karakter seseorang. Ia bisa menyimpulkan kalau budaknya ini bukan orang sembarang. Ia orang yang sangat soleh.
Akhirnya, budak itu dinikahkan oleh putri dari tuannya. Sebuah langkah yang begitu visioner dari sudut pandang keimanan dan keislaman. Boleh jadi, sudah tidak ada lagi model pernikahan seperti ini di zaman saat ini.
Dan hasil visioner dari tuan pemilik kebun itu pun akhirnya membawa keberkahan. Yaitu, lahirnya seorang tokoh ulama yang juga cucunya. Ia bernama Abdullah Ibnu Mubarak. Salah seorang tokoh yang juga guru dari Imam Bukhari rahimahullah.
Ibnu Mubarak belajar dari begitu banyak guru. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa guru beliau begitu banyak. Bahkan diperkirakan sekitar empat ribuan orang.
Ribuan gurunya itu tersebar di berbagai belahan dunia. Mulai dari di sekitar kampung halamannya, Bagdad, Basrah, Mesir, Mekah dan Madinah, Yaman, dan lainnya. Di antaranya adalah Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsauri, Al-A’masy, dan lainnya.
Ada satu rutinitasnya yang lain dari yang lain. Nyaris, tak ada ulama di masanya yang mampu melakukan seperti yang dilakukan Ibnu Mubarak.
Yaitu, ia biasa menghajikan begitu banyak warga di kampungnya. Mereka diajak berhaji, dibimbing, diongkosi, diberikan pakaian, disiapkan kendaraan, diberikan makan dan minum, dan ketika pulang, rumah mereka direnovasi menjadi lebih baik.
Hal ini karena Ibnu Mubarak mewariskan kekayaan dari kakeknya yang begitu banyak. Dan hal itu ia manfaatkan untuk menuntut ilmu dan bersedekah terhadap tetangga dan orang-orang soleh.
Bisa dibilang, siapa pun di zamannya yang merupakan ulama dan minim keuangannya, Ibnu Mubarak selalu berada di belakangnya.
Hal ini merupakan sebuah keberkahan dari sang kakek yang mengutamakan kesolehan di atas segalanya.
**
Tak ada yang sia-sia dari kesolehan ayah dan ibu untuk anak-anaknya. Dunia materi saat ini mungkin asing dengan hal ini. Tapi cahaya iman dan islam di hati orang yang soleh menuntunnya untuk ridha memilih yang sekilas merugikan ini.
Allah berfirman, “In ahsantum, ahsantum li anfusikum. Wa in asa’tum falaha.” Jika kamu berbuat baik, berarti kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat buruk, maka keburukan itu untuk dirimu juga….” (QS. Al-Isra: 7) [Mh]





