ChanelMuslim.com- Inilah akhir zaman. Alquran diposisikan sebagai hal “terhormat”. Suci dan agung. Sedemikian suci dan agungnya, Alquran tak pernah keluar dari lemari hias kaca. Kecuali, hanya untuk dibersihkan dari debu.
Inilah zaman di mana kita hidup. Sebuah masa yang tidak pernah dialami orang-orang soleh sebelum kita. Tidak para Nabi, sahabat, tabi’in, dan para salafus soleh.
Sebuah zaman yang kerap memamerkan semua kemudahan. Serba tombol dan layar. Zaman di mana seolah jari dan keinginan saja yang dominan. Sementara fisik, hati, dan ruhani menjadi urusan sekian.
Begitulah yang bisa disaksikan terhadap Alquran. Sebuah kitab berisi firman Allah Subhanahu Wata’ala yang membimbing kita menuju jalan lurus. Jalan selamat. Dan jalan yang menyediakan akhir yang membahagiakan.
Ada begitu banyak jarak antara orang-orang saat ini dengan generasi sesudah para sahabat. Mereka begitu akrab dengan Alquran. Sedemikian akrabnya, seolah hanya di toilet saja terjadi perpisahan. Alquran saat itu tak ubahnya seperti ponsel untuk orang zaman sekarang.
Pertanyaan jujur silakan ajukan untuk diri sendiri. Ketika Anda keluar rumah, mana yang akan diutamakan untuk dibawa. Mushaf Alquran atau ponsel? Pertanyaan lain, ketika Anda akan tidur atau bangun dari tidur, mana yang lebih dulu dicari: mushaf Alquran atau ponsel?
Ada kilah dari pertanyaan sederhana ini. Ya tentu saja ponsel yang diutamakan, karena di ponsel juga ada mushaf Alquran. Kalau begitu, coba ajukan pertanyaan lanjutan. Apa yang lebih dulu dilihat saat membuka layar ponsel: mushaf Alquran atau yang lain?
Ulama ahli hadits dan menjadi Imam rujukan di Arab Saudi dan sekitarnya, Imam Ahmad bin Hambal, pernah bermimpi bertemu dengan Allah Subhanahu Wata’ala. Imam Ahmad menanyakan, amalan apa yang paling Engkau cintai, ya Allah? Allah Subhanahu Wata’ala menjawab, membaca firmanKu.
Seorang sahabat Nabi generasi remaja, Abdullah bin Amru bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, pernah dibimbing Nabi dalam hal mengkhatam Alquran. Nabi mengajarkan, silakan mengkhatam Alquran sebulan sekali. Abdullah menjawab, aku bisa lebih cepat dari itu Ya Rasulullah. Nabi terus memperpendek lama khatam dari tiga pekan, dua pekan, hingga satu pekan saja.
Tapi, Abdullah lagi-lagi mengatakan, Aku bisa lebih cepat dari itu, Ya Rasulullah. Nabi mengatakan lagi, silakan khatam tiga hari. Ternyata, Abdullah masih berujar, Aku bisa lebih cepat dari itu Ya Rasulullah. Tapi Nabi memintanya untuk khatam paling cepat tiga hari, karena rentang itu masih bisa memungkinkan untuk tadabur isi Alquran.
Para salafus soleh juga terbiasa menghafal Alquran. Bahkan sejak mereka masih anak-anak. Yang paling berat dari memiliki hafalan adalah mengulang-ulangnya agar Alquran tetap melekat dalam hati dan pikiran.
Itulah kenapa para salafus soleh terbiasa shalat malam lebih dari separuh malam. Karena di samping shalat, mereka jadikan momen itu untuk menjaga kesegaran hafalan. Dan bacaan Alquran yang paling afdhal adalah pada saat shalat. Tidak heran jika mereka bisa khatam tiga hari, dua hari, bahkan hanya satu hari.
Interaksi spesial mereka dengan Alquran bukan sekadar itu. Mereka kerap menjadikan shalat berjamaah untuk meresapi isi Alquran. Baik sebagai imam maupun ma’mum. Sebuah interaksi yang begitu indah dan syahdu antara diri mereka dengan pemilik kalam mulia dalam Alquran itu, yaitu Allah Subhanahu Wata’ala.
Baik imam maupun ma’mum bisa menangis saat shalat. Menangis dengan penuh perasaan yang dalam. Menangis karena bacaan Alquran menyebut tentang dahsyatnya azab di akhirat, menyebut tentang keagungan Allah dan betapa rendahnya nafsu manusia dan syahwat dunia.
Sudah menjadi hal biasa jika shalat berjamaah di masa itu membacakan satu surah dalam Alquran. Bukan surah di juz 30. Tapi di juz-juz yang lain. Yang satu surah bisa memakan waktu satu jam.
Begitu asyiknya mereka dalam buaian tadabur, berdiri lama tak terasa. Semua energi terfokus pada lantunan ayat demi ayat. Makna demi makna. Seolah, di hadapan mereka ada Allah Subhanahu Wata’ala yang langsung menyampaikan firmanNya yang agung.
Seorang pernah bertanya kepada Ibnu Taimiyah kenapa ia sulit menangis saat menyimak ayat Alquran. Sang guru menjawab, justru karena tidak mampu menangis itulah, kamu harus menangis.
Hal itu menunjukkan bahwa tidak mampu menangis itu lantaran posisi ruhani kita sudah nyaris berada di luar orbit kedekatan dengan Sang Pemilik kalam, Allah Subhanahu Wata’ala. Hati kita yang jernih itu menjadi keruh dan berkarat karena banyaknya dosa dan maksiat.
Bagaimana dengan kita? Di manakah mushaf kita saat ini? Kapan terakhir kita sentuh dan kita baca. Jangan katakan kalau mushaf kita sedang berada di tempat “terhormat” di lemari hias kaca. Yang akan kita sentuh hanya karena alasan untuk membersihkannya dari debu. (Mh)